Selasa, 19 Maret 2013

Jurnal Utama DM (olahan kelompok sahabat epid)


FAKTOR RISIKO PERILAKU YANG BERHUBUNGAN DENGAN KADAR GULA DARAH PADA PENDERITA DIABETES MELITUS TIPE 2 DI RSUD KABUPATEN KARANGANYAR


Rosita Purnama Dewi
*)Mahasiswa FKM UNDIP,
**)Dosen Bagian Epidemiologi dan Penyakit Tropik
FKM UNDIP

ABSTRAK

Diabetes Melitus (DM) merupakan penyakit kronik yang tidak dapat disembuhkan, tetapi dapat dikendalikan melalui pengelolaan DM. Tingginya jumlah pasien DM rawat inap di RSUD Kabupaten Karanganyar menggambarkan bahwa pengelolaan DM belum berhasil, yaitu masih banyak kasus komplikasi akibat kadar gula darah tidak terkendali. Keberhasilan pengelolaan DM sangat tergantung dari upaya pasien dalam merubah perilakunya mulai dari pengetahuan, sikap dan praktik agar sesuai dengan perilaku pengelolaan DM. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara perilaku (pengetahuan, sikap dan praktik) dalam hal diet, olahraga dan pengobatan dengan kadar gula darah. Jenis penelitian adalah analitik dengan desain cross sectional. Populasi adalah pasien DM tipe 2 yang berobat di Poliklinik Penyakit Dalam RSUD Kabupaten Karanganyar. Sampel diambil sebanyak 72 orang, menggunakan teknik purposive sampling dengan kriteria pemilihan inklusi dan eksklusi. Pengambilan data dengan wawancara menggunakan kuesioner. Data dianalisis menggunakan uiji chi-square. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa faktor perilaku yang berhubungan dengan kadar gula darah adalah sikap olahraga (p=0,012; OR=6,2; 95%CI=1,3-29,9), sikap pengobatan (p=0,009; OR=6,7; 95%CI=1,4-32,2), praktik diet (p=0,004; OR=7,7; 95%CI=1,6-37,2), praktik olahraga (p=0,004; OR=7,7; 95%CI=1,6-37,2), dan praktik pengobatan (p=0,002; OR=9; 95%CI=1,8-43,1). Sedangkan pengetahuan diet (p=0,163; OR=4,9; 95%CI=0,5-41), pengetahuan olahraga (p=0,170; OR=4,4; 95%CI=0,5-37,1), pengetahuan pengobatan (p=0,125; OR=3,9; 95%CI=0,8-19,1) dan sikap diet (p=0,125; OR=3,6; 95%CI=0,7-17,7) tidak berhubungan dengan kadar gula darah. Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa faktor risiko perilaku yang berhubungan dengan kadar gula darah adalah sikap olahraga, sikap pengobatan, praktik diet, praktik olahraga dan praktik pengobatan.

Kata kunci : Faktor perilaku, pengelolaan DM, kadar gula darah, DM tipe 2




LATAR BELAKANG

Diabetes melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau keduanya.(1) Sebagian besar, yaitu sekitar 90% tergolong DM tidak tergantung insulin atau DM tipe 2 dan 10% DM tergantung insulin atau DM tipe 1. (2)Menurut witasari ucik dkk, Kekerapan DM tipe 2 di Indonesia berkisar antara 1,5-2,3% kurang lebih 15 tahun yang lalu, tetapi pada tahun 2001 survei terakhir di Jakarta (Depok) menunjukkan kenaikan yang sangat nyata yaitu menjadi 12,8% (Suyono, 2005). Menurut Sujudi (2003), sekitar 2,5 juta jiwa atau 1,3% dari penduduk Indonesia setiap tahun meninggal dunia karena komplikasi DM. (Dikutip oleh Ayu Indah Wuryani)
Prevalensi DM di dunia mengalami peningkatan yang sangat besar. IDF mencatat sekitar 366 juta orang di seluruh dunia, atau 8,3% dari orang dewasa, diperkirakan memiliki DM pada tahun 2011. Jika tren ini berlanjut, pada tahun 2030 diperkirakan dapat mencapai 552 juta orang, atau 1 dari 10 orang dewasa akan terkena DM. Saat ini Indonesia menempati urutan ke-10 jumlah penderita DM terbanyak di dunia dengan jumlah 7,3 juta orang dan jika tren ini berlanjut diperkirakan pada tahun 2030 dapat mencapai 11.8 juta orang. (3) Menurut Dewi Marfu’ah Kurniawati, hasil Riset Kessehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007 menunjukkan bahwa proporsi penyebab kematian akibat DM pada kelompok umur 45-54 di daerah perkotaan menduduki ranking kedua, yaitu 14,7% sedangkan di daerah pedesaan Dm menduduki ranking ke-enam yaitu 5,8%. (Dikutip oleh Prassilvya Hillary Sirait) Sri Anani juga memaparkan data lain bahwa hasil riset kesehatan dasar (Riskesdas) tahun 2007 menunjukkan bahwa secara nasional, prevalensi DM berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan dan gejala adalah 1,1%. Sedangkan prevalensi nasional DM berdasarkan hasil pengukuran gula darah pada penduduk umur >15 tahun yang bertempat tinggal di perkotaan adalah 5,7%. Riset ini juga menghasilkan angka Toleransi Glukosa Terganggu (TGT) secara nasional berdasarkan hasil pengukuran gula darah yaitu pada penduduk berumur>15 tahun yang bertempat tinggal di perkotaan sebesar 10,2%. ( Dikutip oleh Nur Hidayah)
Orang dengan DM memiliki peningkatan risiko mengembangkan sejumlah masalah kesehatan akibat komplikasi akut maupun kronik. Tingkat glukosa darah yang tinggi secara konsisten dapat menyebabkan komplikasi mikrovaskuler antara lain retinopati, neuropati dan nefropati dan makrovaskuler antara lain penyakit jantung iskemik, penyakit serebrovaskular dan penyakit pembuluh darah perifer.(4) DM merupakan penyebab utama penyakit jantung, kebutaan, gagal ginjal, dan amputasi. DM dan komplikasinya juga merupakan penyebab utama kematian di negara berkembang. (5) IDF mencatat 4,6 juta orang umur 20-79 tahun meninggal dunia akibat DM pada tahun 2011, atau 8,2% dari semua penyebab kematian global pada kelompok usia tersebut. (3) Selain itu, DM menyebabkan beban ekonomi yang besar pada individu, sistem kesehatan nasional, dan negara. Menurut Juni Triastuti dan Iin Novita Mahmudah, Faktor resiko diabetes mellitus adalah kelompok usia dewasa tua (lebih dari 40 tahun), obesitas, tekanan darah tinggi, riwayat keluarga diabetes mellitus, riwayat kehamilan dengan berat badan lahir bayi lebih dari 4.000 gram, riwayat diabetes mellitus pada kehamilan, dislipedemia (Arif Mansjoer, 2001). (Dikutip oleh Khoirun Nisa).
DM tipe 2 merupakan penyakit kronik yang tidak dapat disembuhkan tetapi sangat potensial untuk dapat dicegah dan dikendalikan melalui 4 pilar pengelolaan DM yang meliputi edukasi, diet, olahraga dan terapi pengobatan. Karena DM adalah penyakit yang berhubungan dengan gaya hidup, maka berhasil tidaknya pengelolaan DM sangat tergantung dari pasien itu sendiri dalam mengubah perilakunya. Secara teori, proses perubahan perilaku melalui 3 tahap yaitu pengetahuan, sikap dan praktik, meskipun dalam kenyataannya tidak selalu demikian tapi sudah banyak penelitian yang membuktikan hal itu. (6) Hal ini juga selain dengan banu hanifa bahwa Empat pilar utama pengelolaan DMT2 adalah perencanaan makan, latihan jasmani, obat berkhasiat hipoglikemik, dan penyuluhan.8 Perencanaan makan merupakan komponen utama keberhasilan penatalaksanaan DMT2.9 Perencanaan makan bertujuan membantu penderita DMT2 memperbaiki kebiasaan makan sehingga dapat mengendalikan kadar glukosa, lemak, dan tekanan darah. Keberhasilan perencanaan makan bergantung pada perilaku penderita DMT2 dalam menjalani anjuran makan yang diberikan. Ketidakpatuhan pasien dalam perencanaan makan merupakan salah satu kendala dalam pengobatan DMT2. Data laporan WHO tahun 2003 menunjukkan hanya 50% pasien DMT2 di negara maju mematuhi pengobatan yang diberikan. (Dikutip oleh Ayu Indah Wuryani).
Di Kabupaten Karanganyar, penyakit DM, khususnya DM tipe 2 merupakan penyakit non menular dengan prevalensi tertinggi kedua setelah hipertensi esensial. Berdasarkan Laporan Tahunan Kasus Penyakit Tidak Menular Dinas Kesehatan Kabupaten Karanganyar, prevalensi DM tipe 2 selalu mengalami peningkatan setiap tahun. Pada tahun 2009, prevalensi DM tipe 2 sebesar 10.924 kasus, kemudian mengalami peningkatan 12,04% pada tahun 2010 menjadi 12.239 kasus. Pada tahun 2011 prevalensi DM menurun 7,96% menjadi 11.265 kasus. RSUD Kabupaten Karanganyar merupakan rumah sakit rujukan khususnya untuk kasus DM di Kabupaten Karanganyar. Berdasarkan data Rekam Medik 10 Besar Penyakit Rawat Jalan RSUD Karanganyar menunjukkan DM menempati urutan kedua dalam jumlah terbanyak. Jumlah kunjungan rawat jalan pasien DM tipe 2 pada tahun 2011 sebesar 2.990 kasus lama dan 413 kasus baru. Jumlah pasien DM tipe 2 yang dirawat inap juga selalu tinggi, yaitu sebesar 285 pasien pada tahun 2009, 230 pasien pada tahun 2010 dan 167 pasien pada tahun 2011. Jumlah kematian pada tahun 2011 menempati urutan ketiga setelah hipertensi lain dan hipertensi esensial, yaitu sebesar 25 kasus.(7) Menurut banu hanifa, World Heatlh Organization (WHO) memprediksi kenaikan jumlah pasien di Indonesia dari 8.4 juta pada tahun 2000 menjadi 21.3 juta pada tahun 2030.4 Kasus Diabetes Melitus tipe 2 (DMT2) sebagai kasus yang paling banyak dijumpai mempunyai latar belakang berupa genetik, resistensi insulin, dan insufisiensi sel beta pankreas dalam memproduksi insulin. (Dikutip oleh Prassilvya Hillary Sirait)
Banyaknya jumlah pasien DM tipe 2 yang dirawat inap di RSUD Kabupaten Karanganyar menandakan bahwa banyak pasien yang mengalami komplikasi yang mengharuskan mereka untuk dirawat inap, dimana gangguan tersebut adalah akibat dari kadar gula darah yang tidak terkendali. Untuk dapat mengendalikan kadar gula darah dengan baik dan mencegah terjadinya komplikasi maka perlu mengetahui penyebab dari kadar gula darah yang tidak terkendali tersebut dengan melihat bagaimana perilaku penderita DM tipe 2 dalam mengendalikan kadar gula darah. Penelitian tentang faktor risiko perilaku yang berhubungan dengan kadar gula darah pada penderita DM tipe 2 di RSUD Kabupaten Karanganyar belum pernah dilakukan. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk mengetahui dan menganalisis faktor perilaku (pengetahuan, sikap dan praktik) diet, olahraga dan pengobatan yang berhubungan dengan kadar gula darah pada penderita DM tipe 2 di RSUD Kabupaten Karanganyar.

SUBJEK DAN METODE
Penelitian ini merupakan penelitian analitik dengan desain cross sectional. Populasi penelitian ini adalah pasien DM tipe 2 yang berobat di Poliklinik Penyakit Dalam RSUD Kabupaten Karanganyar. Sampel diambil sebanyak 72 orang, menggunakan teknik purposive sampling. Variabel terikat adalah kadar glukosa darah puasa. Variabel bebas terdiri dari pengetahuan diet, pengetahuan olahraga, pengetahuan pengobatan, sikap diet, sikap olahraga, sikap pengobatan, praktik diet, praktik olahraga dan praktik pengobatan. Pengambilan data dengan wawancara menggunakan kuesioner. Data dianalisis menggunakan uiji chi-square.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Umum
Tabel 1 Karakteristik Umum Responden       
Variable
Kategori
F
%
Umur
Mean
minimum
maximum

53,89
38,00
60,00
Sex
laki-laki
perempuan
29
43
40,3
59,7
Pendidikan
tidak sekolah
SD
SMP
SMA
PT / Akademi
11
16
7
16
22
15,3
22,2
9,7
22,2
30,6
Pekerjaan
PNS
Swasta
Petani
Wiraswasta
Pensiun
Tidak Bekerja
16
11
6
7
11
21
22,2
15,3
8,3
9,7
15,3
29,2
penghasilan
< 0,5 jt
0,5 – 1 juta
1        - 2 juta
>2 juta
6
11
14
41
8,3
15,3
19,4
56,9
lama sakit
<1 th
1-5 th
6-10 th
11-15 th
16-20 th
11
38
11
10
2
15,3
52,8
15,3
13,9
2,8
GDP
Normal
Tidak Normal
17
55
23,6
76,4
Tabel 1 menunjukkan bahwa umur responden rata-rata 53-54 tahun. Sebagian besar responden berjenis kelamin perempuan (59,7%). Latar belakang pendidikan sebagian besar (30,6%) berpendidikan PT/Akademi. Sedangkan untuk pekerjaan sebagian besar (29,2%) tidak bekerja. Penghasilan keluarga sebagian besar (56,9%) > 2 juta. Sebagian besar responden (52,8%) sudah mengalami sakit 1-5 tahun. Sebagian besar responden (76,4%) memiliki kadar glukosa darah tidak normal yaitu melebihi standar glukosa normal puasa yaitu 126 mg/dl.
Hasil analisis menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara pengetahuan diet (p=0,163) dengan kadar gula darah. Hasil ini tidak sesuai dengan penelitian sebelumnya oleh Sudrisman (2008)(8) bahwa ada hubungan pengetahuan diet dengan kadar gula darah pasien DM di Rumah Sakit Roemani Muhammadiyah Semarang (p=0,001). Hasil penelitian A.K. Prima Dewi dkk menunjukkan bahwa adanya  hubungan antara pengetahuan dengan kadar glukosa darah dengan nilai P=<0,001 dan OR=14,01. (Dikutip oleh Arrohman Nur). Hasil penelitian Nadia Rohmatul dkk juga menunjukkan adanya hubungan antara pengetahuan diet responden pada kelompok perlakuan sebelum dan sesudah diberikan edukasi dengan pendekatan prinsip DSME  yaitu dari 12 reponden sesudah perlakuan dilakukan dengan kategori baik sebanyak 8,3 %, cukup sebanyak 50 %, kurang sebanyak 41,7 %. (P=0,004).(Dikutip oleh M. Sodik). Hal ini bertolak belakang dengan hail penelitian Lewi Martha Furi yang menunjukkan, dari 82 responden terdapat 22 responden (26,8%) yang memiliki pengetahuan baik dengan tingkat konsumsi energi yang kurang. Dari hasil uji statistik Chi Square didapatkan 3 sel expected value < 5 sehingga dilakukan penggabungan sel, kemudian di uji kembali dengan Chi Square didapatkan p-value sebesar 0,520 dan α=0,05 (p-value>α). Hal ini menyatakan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara pengetahuan dengan tingkat konsumsi energi responden. (Dikutip oleh Ismail Razak)
Berdasarkan hasil wawancara, sebagian besar responden (80,6%) sudah memiliki pengetahuan yang baik tentang diet DM. Dilihat dari tingkat pendidikan responden sebagian besar (30,6%) berpendidikan tinggi yaitu PT. Tingkat pendidikan yang tinggi memungkinkan seseorang memiliki pengetahuan yang lebih dan akan lebih mudah mencari dan menyerap informasi berkaitan dengan penyakitnya. Menurut Price dan Wilson (1995)(9), pasien DM relatif dapat hidup normal bila mengetahui dengan baik keadaan dan cara penatalaksanaan penyakit tersebut. Namun, dalam penelitian ini, pengetahuan diet tidak berhubungan dengan kadar gula darah. Hal tersebut dapat dikarenakan pengetahuan yang baik tidak selalu diikuti dengan sikap dan praktik yang baik. Menurut Green, pengetahuan merupakan predisposisi evaluatif yang banyak menentukan bagaimana individu bertindak, akan tetapi masih ada faktor pendukung dan pendorong yang juga mempengaruhi individu untuk bertindak, sehingga pengetahuan dengan tindakan nyata seringkali berbeda jauh.(10) Sebagai contoh, situasi lingkungan yang membuat pasien DM melanggar aturan diet adalah saat liburan, pesta, makan di luar rumah, saat sendiri dan bosan, ada permasalahan dan sebagainya.(11) Menurut Nur Aini, dkk, 2011, Gula darah puasa responden kelompok perlakuan mengalami penurunan dari 224 gr/dl menjadi 156 gr/dl, demikian pula pada kelompok kontrol mengalami penurunan dari 224 gr/dl menjadi 190 gr/dl. Hasil uji statistik pada kelompok perlakuan menunjukkan ada perbedaan signifikan gula darah sebelum dan sesudah intervensi, sedangkan pada kelompok kontrol tidak ada perbedaan signifikan meskipun gula darah post test mengalami penurunan. Gula darah 2 jam PP responden kelompok perlakuan mengalami penurunan dari 239 gr/dl menjadi 226 gr/dl, sedangkan pada kelompok kontrol mengalami peningkatan dari 232 gr/dl menjadi 248 gr/dl. Hasil uji statistik pada kelompok perlakuan menunjukkan ada perbedaan signifikan gula darah 2 jam PP sebelum dan sesudah intervensi, sedangkan pada kelompok kontrol tidak ada perbedaan. (Dikutip oleh  Nur Hidayah dan Khoirun Nisa )
Hasil analisis menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara sikap diet dengan kadar gula darah (p=0,125). Hal ini tidak sesuai dengan penelitian Jazilah dkk (2003)(19) bahwa sikap pengelolaan DM tipe 2 berhubungan dengan kendali kadar gula darah (OR=2,34 (0,986-5,570)). Hasil penelitian Nadia Rohmatul dkk juga menunjukkan adanya hubungan antara kepatuhan diet pada kelompok perlakuan sebelum dan sesudah diberikan edukasi dengan pendekatan prinsip DSME yaitu dari 12 reponden sesudah perlakuan dilakukan dengan kategori positif sebanyak 83,3 % dan negative sebanyak 16,7 % nilai untuk P=0,025. (Dikutip oleh Ayu Indah Wuryani dan Prassilvya Hillary Sirait)  Hal ini bertolak belakang dengan hasil penelitian Lewi Martha Furi yang menyatakan, dari 82 responden didapatkan 25 responden (30,5%) memiliki sikap yang baik dengan tingkat konsumsi energy yang kurang. Dari hasil uji statistik Chi Square didapatkan 2 sel expected value <5, sehingga dilakukan uji Kolmogorov-Smirnov didapatka p-value sebesar 0,43 dan α=0,05 (p-value> α). Hal ini menyatakan bahwa tidak ada hubungan bermakna antara sikap dengan tingkat konsumsi energi responden. (Dikutip oleh M. Sodik dan Arrohman Nur)
Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan teori Notoatmodjo bahwa suatu penyakit dapat dicegah dengan perilaku kesehatan yang didukung dengan pengetahuan dan sikap yang baik terhadap penyakit tersebut.(10) Pengetahuan dan sikap ini dapat membentuk keyakinan tertentu sehingga seseorang berperilaku sesuai keyakinan tersebut.
Berdasarkan hasil wawancara, sebagian besar responden (72,2%) memiliki sikap yang baik terhadap diet DM. Sikap negatif dapat disebabkan karena belum mengetahui atau merasakan manfaatnya. Sikap positif tidak selalu terwujud dalam tindakan nyata karena beberapa alasan, yaitu tergantung situasi saat itu, mengacu pada pengalaman orang lain dan pengalaman seseorang.(12)
Sikap positif pasien DM terhadap diet disebabkan karena sudah mengetahui dan merasakan manfaat diet ataupun melihat pengalaman dari orang lain di sekitarnya dapat hidup sehat. Akan tetapi agar sikap menjadi perbuatan nyata diperlukan faktor pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan. Seperti misalnya pasien yang telah berniat makan sesuai anjurkan ahli gizi, keluar dari jalur tersebut karena situasi di rumah atau di kantor yang tidak mendukung, seperti sedang ada pesta atau perayaan.(13) Menurut eva mona, dkk, 2012, Hasil penelitian kepatuhan diet dengan kadar GDS di RSUD Tugurejo Semarang secara deskriptif menunjukkan bahwa dari 34 responden yang mengalami Diabetes Mellitus, kepatuhan diit terbanyak 21 orang (61,8%) berkategori cukup patuh dan kadar GDS terbanyak 25 orang (73,5%) berkategori >200 mg/dl. Berdasarkan hasil analisis kenormalan data dengan menggunakan Kolmogorov Smirnov diketahui bahwa data berdistribusi tidak normal dengan p-value = 0,031 dan p-value = 0,060, sehingga mengetahui keeratan hubungan menggunakan uji Rank-Sperman. Pada uji tersebut diperoleh r = 0,537 dan p-value 0,001 (<0,05) sehingga dapat disimpulkan ada hubungan kepatuhan diit dengan kadar gula darah penderita Diabetes Mellitus. (dikutip oleh Ayu Indah Wuryani dan Prassilvya Hillary Sirait)
Praktik Diet
Tabel 4 Hubungan Praktik Diet dengan Kadar Gula Darah
Hasil analisis menunjukkan bahwa praktik diet yang kurang baik merupakan faktor risiko kadar gula darah puasa tidak normal (p=0,004; OR=7,7; 95% CI=1,6-37,2). Hasil ini sesuai dengan penelitian Achmad (2011)(14) bahwa pola makan yang tidak baik berisiko 4 kali tidak berhasil dalam pengelolaan DM (p=0,008; OR=4,297; 95% CI=1,41-13,068). Hal ini juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Sri Anani dkk, dimana proporsi penderita DM lebih besar pada responden yang masuk dalam kategori kebiasaan makan kurang baik sehingga sejalan dengan kondisi glukosa darah yang belum terkendali, hasil yang didapat yaitu dari 52 responden yang melakukan kebiasaan makan kurang baik 83,70 % dengan nilai P =0,001. Dari jurnal tersebut disebutkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi kenaikan glukosa darah adalah kandungan serat dalam makanan, proses penceranaan, cara pemasakannya, waktu makan dengan lambat atau cepat. pada penderita DM terdapat ketidakmampuan untuk menghasilkan insulin karena sel-sel beta pankreas telah dihancurkan oleh proses autoimun. Dan apabila sel-sel beta tidak mampu mengimbangi peningkatan kebutuhan akan insulin maka kadar glukosa akan meningkat. (Dikutip oleh Ismail Razak) Hasil penelitian Radio Putro Wicaksono juga menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara kebiasaan minuman/makanan manis dengan kadar glukosa darah yaitu dari 30 responden yang mengkonsumsi makanan/minuman yang sering sebesar 66,67 % dan yang jarang hanya 33,33 % dengan nilai  p=0,292 dan odds ratio (OR) sebesar 1,75.(Dikutip oleh Nur HIdayah dan M. Sodik) Hasil penelitian Achmad Yoga Setyo Utomo juga membuktikan bahwa kepatuhan minum obat dengan kadar glukosa darah memiliki hubungan dengan nilai p = 0,01 (<0,05) dan odds rasio (OR) sebesar 4,03 dengan 95% confidence interval (CI) : 1,37<4<11,84 selain itu pada penelitian antara pola makan dengan kadar glukosa darah juga memiliki hubungan dengan nilai P=0,008 (<0,05) dan odds ratio (OR) sebesar 4,297 dengan 95% confidence interval (CI) : 1,41<4,297<13,068.(Dikutip oleh Khoirun Nisa dan Arrohman Nur) Hasil penelitian Ucik juga menunjukkan adanya hubungan antara asupan karbohidrat dengan glukosa darah puasa yaitu dari 12 responden terdapat asupan karbohidrat yang baik sebanyak 3,3 % dan tidak baik 36,7 % dengan nilai P=0,346. Selain itu antara asupan serat dengan glukosa darah puasa juga memiliki hubungan yaitu dari 12 responden terdapat asupan serat dengan glukosa darah puasa yang baik sebanyak 0 % dan tidak baik 40  % dengan nilai P=0,561. (Dikutip oleh Bagus Wicaksono dan Ismail Razak) Hasil penelitian Nadia Rohmatul dkk juga menunjukkan adanya hubungan antara tindakan kepatuhan diet responden pada kelompok perlakuan sebelum dan sesudah diberikan edukasi dengan pendekatan prinsip DSME  yaitu dari 12 reponden sesudah perlakuan dilakukan dengan kategori patuh sebanyak 0 %, cukup sebanyak 33,3 %, kurang sebanyak 66,7 %. (P=0,002). (Dikutip oleh Nur Hidayah dan M. Sodik)
Menurut Yunir dalam Aru W dkk (15), kepatuhan diet berfungsi mempertahankan berat badan normal, menurunkan tekanan darah, menurunkan glukosa darah, memperbaiki profil lipid, meningkatkan sensitivitas insulin dan memperbaiki sistem koagulasi darah.
Diet rendah karbohidrat telah terbukti menurunkan gula darah puasa (p=0,025), menurunkan HbA1C dan memperbaiki sensitivitas insulin.(16) Penelitian meta analisa oleh Robert E(17) menunjukkan bahwa secara keseluruhan asupan serat dapat menurunkan gula darah puasa dan HbA1c. Peningkatan kadar serat dapat menurunkan indeks glikemik dari makanan sehingga mengurangi glukosa darah dan HbA1c. Peningkatan total asupan sayuran harian dan sayuran hijau menunjukkan adanya penurunan HbA1c, trigliserida, dan lingkar pinggang (p=0,025). Dosis kecil fruktosa dalam buah yang dikonsumsi 30 atau 60 menit sebelum makanan yang berindeks glikemik tinggi, dapat menurunkan respon glikemik dibandingkan dengan yang dimakan bersama-sama atau tidak makan buah sama sekali.
Dari hasil wawancara, ada beberapa hal mengenai praktik diet DM yang belum diterapkan oleh responden. Secara umum responden mengaku hal yang paling sulit dalam mengatur makan adalah tidak dapat menahan nafsu makan dan sering merasa lapar. Sebesar 75% responden tidak mengatur jadwal makan selingan karena tidak mengetahui cara mengatur jadwal dan suka “ngemil”. Sebesar 62,5% responden yang tidak menakar jumlah makanan sesuai dengan kebutuhan individu, hanya mengurangi porsi makan dari sebelum didiagnosis DM dikarenakan tidak mengetahui caranya dan tidak sabar. Sebesar 50% responden tidak mengonsumsi buah 2-4 porsi sehari, ada yang lebih dan ada yang tidak makan buah karena tidak begitu memperhatikan hal itu, karena keterbatasan ekonomi dan takut gula darah tinggi jika makan buah karena rasanya yang manis. Menurut Zahtamal dkk, 2008, Analisis data dengan menggunakan uji korelasi spearman’s rho diketahui bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna secara statistik antara pola makan dengan kejadian DM (p = 0,896). Pendugaan faktor risiko pola makan didapatkan OR sebesar 1,06 (probabilitas untuk terjadinya DM pada orang dengan pola makan tidak sehat dan pola makan sehat adalah lebih kurang sama atau 1 banding 1. Selanjutnya PAR diperoleh nilai sebesar 0,06 (sekitar 6% kasus DM dapat dicegah dengan menghilangkan faktor risiko adanya pola makan yang tidak sehat). (Dikutip oleh Ayu Indah dan Prassylvia) Menurut Prayugo Juwi Susilo Putro dan Suprihatin, 2012, Setelah dilakukan uji statistik Regresi Linier Ganda dengan Software computer dengan taraf signifikansi adalah α ≤ 0,05 pada diit tepat jumlah, jadwal, dan jenis dengan kadar gula darah pasien diabetes mellitus tipe II, pada tabel 5 didapatkan ; nilai p=0,000 dari uji statistik pengaruh jumlah dengan kadar gula darah puasa, karena nilai p<α maka Ho ditolak dan Ha diterima, sehingga ada hubungan antara diit tepat jumlah dengan gula darah puasa pasien diabetes mellitus tipe II, nilai p=0,247 dari uji statistik pengaruh jadwal dengan kadar gula darah puasa, karena nilai p>α maka Ho diterima dan Ha ditolak, sehingga tidak ada hubungan antara diit tepat jadwal dengan gula darah puasa pasien diabetes mellitus tipe II, nilai p=0,432 dari uji statistik pengaruh jenis dengan kadar gula darah puasa, karena nilai p>α maka Ho diterima dan Ha ditolak, jadi tidak ada hubungan antara diit tepat jenis dengan gula darah puasa pasien diabetes mellitus tipe II. Karena nilai p jumlah lebih kecil dari α, nilai p jadwal lebih besar dari α dan nilai p jenis lebih besar dari α, maka dapat disimpulkan bahwa ada hubungan pola diit tepat jumlah, jadwal, dan jenis dengan gula darah puasa pasien diabetes mellitus tipe II. (Dikutip oleh Ismail Razak dan Khoirun Nisa)


Hasil analisis menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara pengetahuan olahraga (p=0,170) dengan kadar gula darah. Hasil ini tidak sesuai dengan penelitian Achmad (2011)(14) bahwa pengetahuan yang tidak baik berisiko 4 kali tidak berhasil dalam pengelolaan DM (p=0,015; OR=4 (1,27-12,58).
Berdasarkan hasil wawancara, 81,9% responden sudah memiliki pengetahuan yang baik tentang olahraga DM. Dilihat dari tingkat pendidikan sebagian besar (30,6%) berpendidikan PT. Pendidikan yang tinggi memungkinkan seseorang memiliki pengetahuan yang lebih dan akan lebih mudah mencari dan menyerap informasi berkaitan dengan penyakitnya. Secara statistik pengetahuan olahraga tidak berhubungan dengan kadar gula darah. Hal ini dapat dikarenakan pengetahuan yang baik tidak selalu diikuti dengan praktik yang baik. Menurut Basuki(13), untuk terwujudnya pengetahuan dan sikap agar menjadi suatu perbuatan nyata, diperlukan faktor pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan, antara lain adalah fasilitas. Sebagai contoh seorang pasien yang telah mempunyai pengetahuan dan sikap yang baik terhadap olahraga, mungkin tidak dapat berolahraga karena tidak adanya fasilitas olahraga dan adanya keterbatasan waktu atau tidak sempat.

Hasil menunjukkan bahwa sikap olahraga yang kurang baik merupakan faktor risiko kadar gula darah puasa tidak normal (p=0,012; OR=6,2; 95% CI=1,3-29,9). Sesuai dengan penelitian Jazilah dkk (2003)(19) bahwa sikap tentang pengelolaan DM berhubungan dengan kadar gula darah (OR=2,34 (0,986-5,570)).  Hal ini juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan Sri Anani  dkk, yang menyatakan bahwa ada hubungan  antara kebiasaan olahraga dengan kondisi glukosa darah responden. Hal ini ditunjukkan dengan besarnya nilai   p= 0,041. Sebagian besar responden yang mempunyai kadar glukosa tidak normal yaitu 73,30% tidak mempunyai kebiasaan olahraga seperti jogging, senam, tennis, lari  dan sebagainya. (Dikutip oleh Bagus Wicaksono dan Arrohman Nur)
Sesuai teori Notoatmodjo(10) bahwa suatu penyakit dapat dicegah dengan perilaku kesehatan yang didukung dengan pengetahuan dan sikap yang baik terhadap penyakit tersebut. Pengetahuan dan sikap ini dapat membentuk keyakinan tertentu sehingga seseorang berperilaku sesuai keyakinan tersebut. Dengan sikap yang baik terhadap olahraga maka kecenderungan untuk melakukan olahraga juga akan lebih baik dan demikian pula sebaliknya.

Praktik Olahraga
Tabel 7 Hubungan Praktik Olahraga dengan Kadar Gula Darah
praktik olahraga
kadar gula darah
Total
tidak normal
normal
kurang   n
              %
28
93,3
2
6,7
30
100
baik       n
             %
27
64,3
15
35,7
42
100
total
55
76,4
17
23,6
72
100
p-value = 0,004; OR=7,7(1,6-37,2)

Hasil analisis menunjukkan bahwa praktik olahraga yang kurang baik merupakan faktor risiko kadar gula darah puasa tidak normal (p=0,004; OR=7,7(1,6-37,2)). Hasil ini sesuai dengan penelitian Achmad (2011)(14) bahwa olahraga secara teratur berhubungan dengan keberhasilan pengelolaan DM tipe 2 (p=0,002). Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Achmad Yoga Seyio Utumo, bahwa responden yang melakukan olahraga secara teratur dan baik memiliki hubungan yang signifikan terhadap keberhasilan pengelolaan diabetes melitus tipe 2 (P=0,002). Latihan jasmani atau olahraga ini terbukti dapat meningkatkan sensitifitas reseptor di jaringan perifer terhadap insulin sehinga glokose update meningkat dan status glikemik membaik . Hasil penelitian ini membuktikan bahwa seluruh variable independen keteraturan berolah raga dapat menjelaskan keberhasilan pengelolaan DM tipe 2 sebesar 40.1%, sedangkan sisanya yaitu sebesar 59,9% dijelaskan oleh variabel lain yang tidak dijelaskan dalam penelitian ini.(Dikutip oleh Ayu Indah Wuryani dan Nur Hidayah) Pada penelitian Sri anani juga membuktikan bahwa ada hubungan antara aktivitas fisik dengan kadar glukosa darah, hasil yang didapat yaitu dari 52 responden terdapat 93,80 % aktivitas fisik kurang dan 60,70 % aktivitas fisik cukup (P=0,012). Selain itu Sri anani juga membuktikan bahwa adanya hubungan antara olahraga dengan kadar glukosa darah, hasil yang didapat yaitu dari 52 responden yang tidak melakukan olahraga terdapat 73,30 % dan yang melakukan olahraga 47,10 % (P=0,041).(Dikutip oleh Ismail Razak dan M. Sodik) Selain itu pada penelitian Radio Putro Wicaksono juga membuktikan bahwa antara aktivitas olahraga dengan kadar glukosa darah memiliki hubungan, hasil yang didapat yaitu dari 30 responden yang kurang melakukan aktivitas olah raga terdapat 66,7 % dan yang cukup adalah 33,3 % dengan nilai p = 0,038 dan odds ratio 3,00. (Dikutip oleh Khoirun Nisa dan Prassilvya Hillary Sirait) Proporsi kasus dengan aktivitas fisik tidak baik sebesar 46% dan pada kontrol sebesar 14%. Hasil uji chi-square menunjukkan nilai p = 0,000 (p<0,05) artinya bahwa ada perbedaan proporsi yang signifikan antara kasus dengan aktifitas fisik tidak baik dengan kontrol terhadap kejadian diabetes melitus tipe 2. Nilai OR = 5,2 artinya penderita diabetes melitus tipe 2 kemungkinan aktifitas fisiknya tidak baik 5,2 kali lebih besar daripada yang tidak menderita diabetes melitus tipe 2.
Menurut Riyadi (2008)(20), latihan jasmani atau olahraga dapat menjaga kebugaran, menurunkan berat badan dan memperbaiki sensitivitas insulin, sehingga akan memperbaiki kendali glukosa darah. Olahraga teratur (3-5 kali seminggu selama kurang lebih 30-60 menit) akan memperbaiki sirkulasi insulin dengan cara meningkatkan dilatasi sel dan pembuluh darah sehingga membantu masuknya glukosa ke dalam sel.
Otot-otot yang aktif bergerak tidak diperlukan insulin untuk memasukan glukosa ke dalam sel karena pada otot yang aktif sensitivitas reseptor insulin menjadi meningkat sehingga ambilan glukosa meningkat 7-20 kali lipat.(21) Namun respon ini hanya terjadi sementara setiap kali berolahraga dan tidak menetap. Oleh karena itu olahraga ini harus dilakukan terus menerus dan teratur.(22)
Dari hasil wawancara, jenis olahraga yang biasa dilakukan oleh responden adalah jalan kaki, bersepeda, renang dan senam. Ada beberapa hal mengenai praktik olahraga yang masih belum diterapkan oleh responden. Sebesar 98,6% responden tidak menentukan intensitas olahraga dengan menghitung detak jantung (60–70% THR) karena tidak mengetahui caranya dan berhenti olahraga jika sudah lelah sehingga intensitas olahraga dapat kurang ataupun melebihi ketentuan. Sebesar 50% responden tidak melakukan olahraga 30-60 menit sehari dikarenakan mudah lelah, malas dan beranggapan bahwa olahraga yang penting sudah gerak. Sebesar 50% responden tidak mengurangi kegiatan yang tidak banyak gerak seperti tiduran, nonton TV dan duduk-duduk mengaku tidak ada pekerjaan karena sudah pensiun atau tidak bekerja sehingga kegiatan sehari-hari hanya bersantai-santai. Sebesar 41,7% responden tidak melakukan olahraga 3-5 kali seminggu karena harus segera bekerja, beranggapan pekerjaan sehari-hari sudah seperti olahraga dan tidak ada teman berolahraga.

Pengetahuan Pengobatan
Tabel 8 Hubungan Pengetahuan Pengobatan dengan Kadar Gula.
Pengetahuan pengobatan
Kadar Gula Darah
Total
tidak normal
Normal
kurang   n
              %
19
90,5
2
9,5
21
100
baik       n
             %
36
70,6
15
29,4
51
100
total  n
          %
55
76,4
17
23,6
72
100
p-value = 0,125; OR-3,9 (0,8-19,1)
Hasil analisis menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara pengetahuan pengobatan (p=0,125) dengan kadar gula darah. Hasil ini tidak sesuai dengan penelitian Achmad (2011)(14) bahwa pengetahuan yang tidak baik mempunyai risiko 4 kali tidak berhasil dalam pengelolaan DM (p=0,015; OR=4 (1,27-12,58). Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Achmad yoga, ini membuktikan bahwa pengetahuan tentang pengelolaan DM tidak berpengaruh signifikan terhadap keberhasilan pengelolaan DM tipe 2 (P = 0.26). (Ayu Indah Wuryani dan Prassilvya Hillary Sirait) Hal ini bertolak belakang dengan Yulianti Kusniyah, dkk yang menyatakan bahwa terdapat hubungan yang cukup berarti antara tingkat  self care dengan tingkat HbA1C di  Poliklinik Endokrin RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung. Nilai koefisien korelasi rank2spearman yang didapat pada penelitian ini sebesar rs = 0,601 (p < 0,001) dan berpola positif artinya semakin tinggi tingkat  self care maka semakin baik tingkat HbA1C2nya. (Dikutip oleh Ismail Razak dan M sodik)
Berdasarkan hasil wawancara, sebagian besar responden (70,8%) sudah memiliki pengetahuan yang baik tentang pengobatan DM. Dilihat dari tingkat pendidikan responden sebagian besar (30,6%) berpendidikan PT. Tingkat pendidikan yang tinggi memungkinkan seseorang memiliki pengetahuan yang lebih dan akan lebih mudah mencari dan menyerap berbagai informasi berkaitan dengan penyakitnya.
Secara statistik pengetahuan pengobatan tidak berhubungan dengan kadar gula darah. Hal tersebut dapat dikarenakan pengetahuan yang baik tidak selalu diikuti dengan praktik yang baik. Menurut Schwartz et al dalam Stanley(23) menyatakan bahwa 21% pasien yang membuat kesalahan serius dalam penggunaan obat disebabkan pengetahuan mereka yang tidak akurat.
Menurut data WHO (2003)(11), rendahnya tingkat kepatuhan pengobatan pada penderita DM dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya karakteristik pengobatan dan penyakit (kompleksitas terapi, durasi penyakit dan pemberian perawatan), faktor intrapersonal (umur, gender, rasa percaya diri, stres, depresi dan penggunaan alkohol), faktor interpersonal (kualitas hubungan pasien dengan penyedia layanan kesehatan dan dukungan sosial) dan faktor lingkungan (situasi berisiko tinggi dan sistem lingkungan).
Meskipun pengetahuan pasien sudah baik, namun praktik pasien masih kurang. Hal inilah yang menyebabkan pengetahuan pengobatan tidak berhubungan dengan kadar gula darah.

Sikap Pengobatan
Tabel 9 Hubungan Sikap Pengobatan dengan Kadar Gula Darah
Sikap pengobatan
Kadar Gula Darah
Total
tidak normal
Normal
kurang   n
              %
26
92,9
2
7,1
28
100
baik       n
             %
29
65,9
15
34,1
44
100
total  n
          %
55
76,4
17
23,6
72
100
p-value = 0,009; OR=6,7 (1,4-32,2)
Hasil analisis menunjukkan bahwa sikap pengobatan yang kurang baik merupakan faktor risiko kadar gula darah puasa tidak normal (p=0,009; OR=6,7; 95% CI=1,4-32,2). Hasil ini sesuai dengan penelitian Jazilah dkk (2003)(19) bahwa sikap tentang pengelolaan DM berhubungan dengan kendali kadar gula darah (OR=2,34 (0,986-5,570)). Menurut Nina Rahmadiliyani dan Abi Muhlisin, bahwa pengetahuan tentang penyakit dan komplikasi pada penderita diabetes melitus menunjukkan rata-rata terbanyak mempunyai pengetahuan sedang sebanyak 20 orang (47,6 %), tindakan mengontrol kadar gula darah menunjukkan rata-rata terbanyak adalah kategori sedang sebanyak 22 responden (52.4%), kadar gula darah penderita dalam kriteria tinggi lebih dari 200 mg/dl sebanyak 42 responden (100%) dan ada hubungan yang signifikan antara pengetahuan tentang penyakit dan komplikasi pada penderita diabetes melitus dengan tindakan mengontrol kadar gula darah ( nilai r = 0,508 dan nilai P < 0,05).(Dikutip oleh Nurh Hidayah dan Khoirun Nisa) Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Achmad Yoga Setyo Utomo bahwa hasil analisis didapatkan odds rasio (OR) sebesar 4,03 dengan 95% confidence interval (CI) :1,37<4<11,84 dan nilai P = 0,01 (<0,05). Hal ini menunjukkan bahwa orang yang mempunyai kepatuhan minum obat mempunyai risiko 4 kali untuk berhasil dalam pengelolaan DM tipe 2 dibandingkan dengan yang tidak patuh dan secara statistik bermakna.(Dikutip oleh M sodik dan Ismail Razak) Hal ini juga sejalan dengan penelitian  Mega Noviasari dan TA Larasati yang menyatakan hubungan sikap dengan nilai kualitas hidup responden menunjukkan pola positif, artinya semakin besar nilai sikap semakin besar pula nilai kualitas hidup responden. Hubungan tersebut sedang (0.491). Besaran koefisien determinasi umur adalah 0.24 berarti lama sikap menjelaskan 24 % nilai kualitas hidup. Hasil uji statistika lebih lanjut disimpulkan ada hubungan yang bermakna antara sikap dengan nilai kualitas hidup responden (p value = 0.00).(Dikutip oleh Ayu indah dan Prassilvya Hillary Sirait)
Berdasarkan hasil wawancara, responden yang memiliki sikap yang baik terhadap pengobatan cenderung memiliki praktik yang baik juga terhadap pengobatan, hanya ada satu ketentuan yang disetujui seluruh responden tetapi hanya dilakukan oleh 47,2% responden, yaitu memperhatikan aturan minum obat (dosis, frekuensi, sebelum atau sesudah makan).
Sesuai teori Notoatmodjo(10) bahwa suatu penyakit dapat dicegah dengan perilaku kesehatan yang didukung dengan pengetahuan dan sikap yang baik terhadap penyakit tersebut. Pengetahuan dan sikap ini dapat membentuk keyakinan tertentu sehingga seseorang berperilaku sesuai keyakinan tersebut.
Turner et al mengemukakan bahwa kontribusi diet, sulphonylurea, metformin dan insulin terhadap kontrol gula darah adalah sebesar 8%, 24%, 18% dan 42%. Hal ini menunjukkan bahwa terapi pengobatan memberikan kontribusi yang lebih besar dalam keberhasilan pengelolaan DM tipe 2. Menurut Nurina Dewi Pratita, 2012, Penelitian empiris menunjukkan bahwa health locus of control memainkan peran penting dalam menentukan perilaku kesehatan masyarakat (Bonichini dkk, 2009). Individu dengan health locus of control memengaruhi perilaku mereka sendiri yang berhubungan dengan kesehatan, termasuk perilaku kesehatan yang beresiko, dan kepatuhan terhadap anjuran perawatan kesehatan (Bonichini dkk, 2009). Health locus of control juga didefinisikan sebagai harapan umum tentang kesehatan seseorang dikendalikan oleh perilakunya sendiri atau dari luar dirinya (Morowatisharifabad, Mahmoodabad, Baghianimoghadam 2009). Menurut Rodin (dalam Morowatisharifabad dkk, 2009), seseorang yang memiliki kontrol yang tinggi mungkin memiliki kesehatan yang lebih baik, karena dia lebih mengambil tindakan untuk meningkatkan kesehatan. Health locus of control didefinisikan sebagai seperangkat keyakinan seseorang tentang pribadinya yang memiliki pengaruh pada kesehatan (Bonichini dkk, 2009). (Dikutip oleh Nur Hidayah dan Khoirun Nisa) HLOC memiliki hubungan yang sangat signifikan dengan kepatuhan. Hal ini didukung oleh hasil tabulasi silang antara HLOC dengan kepatuhan dalam menjalani proses pengobatan (tabel 28) menunjukkan bahwa seluruh (100%) subjek penelitian yang memiliki HLOC tinggi memiliki kepatuhan yang sedang. Sedangkan sebagian besar (86.4%) subjek penelitian yang HLOC sedang memiliki kepatuhan yang sedang. Hasil tabulasi silang antara kepatuhan dalam menjalani proses pengobatan dengan inisiatif dalam menjalani proses pengobatan (tabel 32) menunjukkan bahwa subjek penelitian yang memiliki kepatuhan yang sedang sebagian besar (40.0%) memiliki inisiatif sendiri untuk menjalani proses pengobatan. (dikutip oleh Ayu Indah & Prassylvia, 2013) Menurut Rosana Bellawati Sugiarto, Suprihatin, 2012, menggambarkan tidak ada hubungan kepatuhan kontrol dengan tingkat kadar gula darah di Klinik Penyakit Dalam Rumah Sakit Baptis Kediri. Setelah dilakukan uji statistik “Spearman’s Rho” yang didasarkan taraf kemaknaan yang ditetapkan 0,05 didapatkan p = 0,489 maka Ha ditolak Ho diterima berarti tidak ada hubungan kepatuhan kontrol dengan tingkat kadar gula darah di Klinik Penyakit Dalam Rumah Sakit Baptis Kediri. (Dikutip oleh Ismail Razak dan M.Sodik)

Praktik Pengobatan
Tabel 9 Hubungan Praktik Pengobatan dengan Kadar Gula Darah
Praktik pengobatan
Kadar Gula Darah
total
tidak normal
normal
kurang   n
              %
30
93,8
2
6,3
32
100
baik       n
             %
25
62,5
15
37,5
40
100
total  n
          %
55
76,4
17
23,6
72
100
p-value = 0,002; OR=9 (1,8-43,1)
Hasil analisis menunjukkan bahwa praktik pengobatan yang kurang baik merupakan faktor risiko kadar gula darah puasa tidak normal (p=0,002; OR=9; 95% CI=1,8-43,1). Sesuai dengan penelitian Laurentia M(24) di perkotaan Indonesia, bahwa ada hubungan yang bermakna antara perilaku minum atau injeksi obat anti diabetes dengan pengendalian gula darah (p=0,004).
Dalam penelitian ini, obat yang diminum oleh penderita DM termasuk dalam Obat Hipoglikemik Oral (OHO). OHO adalah obat yang berfungsi untuk menurunkan kadar gula darah dengan mekanisme kerja sesuai golongannya, ada yang bekerja meningkatkan sensitivitas insulin, merangsang sekresi insulin dan menghambat penyerapan glukosa oleh darah.(25) Hal ini sesuai dengan jurnal yang ditulis oleh Nina Rahmadiliyani dan Abi Muhlisin, yang meneliti tentang distribusi frekuensi penderita berdasarkan tindakan mengontrol kadar gula darah dengan hasil baik sebanyak 3 orang dan buruk sebanyak 39 orang dari 42.(Dikutip oleh Arrohman Nur dan bagus Wicaksono) Dan didukung dengan penelitian yang pernah dilakukan oleh Sri Anani dkk, bahwa perilaku keteraturan minum obat anti diabetes berhubungan dengan kadar glukosa darah dengan teratur sebanyak 21 orang dan tidak teratur sebnyak 4 orang dari 25 (P=0,032).(Dikutip oleh Ismail Razak dan M.Sodik) Namun pada penelitian Sri anani mengenai hubungan antara kadar gula darah dengan pemeriksaan glukosa darah tidak ada hubungan antara keduanya, hasil yang didapat yaitu 73,70 % melakukan pemerikasaan tidak teratur sedangkan 65,50 % pemeriksaan teratur dengan p=0,509.(Dikutip oleh Khoirun Nisa dan Ayu Indah Wiryani)

Kepatuhan pengobatan adalah seberapa jauh perilaku pasien dalam menggunakan obat sesuai dengan nasehat medis. Pasien harus mengikuti perintah dokter dan mematuhi petunjuk dokter. Hal ini mengimplikasikan bahwa pasien tidak diberi kesempatan membuat keputusan penggunaan obat. Konsep kepatuhan menyatakan gagasan bahwa mengikuti nasehat yang direkomendasikan selalu merupakan tindakan yang tepat dan hal yang terbaik untuk pasien. Pasien yang melaksanakan pengobatan sesuai anjuran dokter, keberhasilan pengendalian gula darah akan lebih tinggi.(26)
Seperti hasil penelitian Turner et al yang menemukan bahwa kontribusi diet, sulphonylurea, metformin dan insulin terhadap kontrol gula darah adalah sebesar 8%, 24%, 18% dan 42%. Hal ini menunjukkan bahwa terapi pengobatan memberikan kontribusi yang lebih besar dalam keberhasilan pengelolaan DM.
Dari hasil wawancara, masih banyak responden yang belum minum obat secara rutin, yaitu 52,8% tidak memperhatikan aturan minum obat seperti dosis, frekuensi, sebelum atau sesudah makan dan 48,6% tidak minum obat saat kondisi membaik misalnya saat gula darah turun atau badan terasa sehat.
Responden tidak minum obat secara rutin karena sering lupa, malas, bosan dan karena jadwal makan yang tidak pasti atau kadang tidak makan sehingga juga tidak minum obat. Responden yang gula darahnya sudah normal dan badan terasa sehat sengaja mengurangi obat, misalnya yang seharusnya tiga kali sehari menjadi dua atau satu kali sehari atau bahkan tidak minum obat sama sekali. Kemudian obat akan diminum lagi saat kondisi memburuk misalnya gula darah naik atau badan terasa tidak sehat. Responden beralasan bahwa mereka takut efek samping obat. Sehingga responden menyeimbangkannya dengan minum obat tradisonal atau jamu, seperti air rebusan daun sirih merah, daun insulin, daun sirsak, daun salam, akar asem, dan sebagainya. Responden beranggapan bahwa jamu yang memiliki rasa pahit dapat menetralkan gula darah, walaupun kebenaran secara ilmiah masih meragukan.
Hal itu berarti bahwa responden mengubah aturan minum obat sendiri, tidak seperti anjuran dokter. Padahal setiap obat memiliki fungsi dan waktu bekerja yang berbeda sehingga penggunaannya juga harus tepat sesuai aturan agar obat bekerja secara efektif. Sehingga bagaimanapun, penderita DM harus minum obat sesuai anjuran dokter.
Pengobatan diabetes memerlukan waktu yang lama (karena diabetes akan diderita seumur hidup) dan sangat kompleks (membutuhkan pengobatan dan perubahan gaya hidup) sehingga seringkali pasien tidak patuh dan cenderung menjadi putus asa dengan program terapi yang lama, kompleks dan tidak menghasilkan kesembuhan. Menurut Asti(27) umumnya penderita diabetes patuh berobat kepada dokter selama ia masih menderita gejala yang subjektif dan mengganggu hidup rutinnya sehari-hari, begitu ia bebas dari keluhan-keluhan tersebut maka kepatuhannya untuk berobat berkurang.

SIMPULAN
Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa sebagian besar pasien DM tipe 2 yang menjalani rawat jalan di Poliklinik Penyakit Dalam RSUD Kabupaten Karanganyar sudah memiliki pengetahuan dan sikap yang baik terhadap pengelolaan DM yang meliputi diet, olahraga dan pengobatan. Akan tetapi dalam praktiknya masih banyak yang tidak melaksanakan pengelolaan DM dengan benar sehingga kadar gula darah sebagian besar pasien berada pada kategori tidak normal.
Hal tersebut menggambarkan bahwa pengetahuan dan sikap yang baik belum cukup untuk dapat merubah perilaku pasien DM, sehingga diperlukan intervensi lain seperti pemberian motivasi dengan membentuk tim motivator yang rutin memberikan motivasi kepada pasien. Motivasi juga dapat diberikan dengan cara memberikan penghargaan kepada pasien yang berhasil mengelola DM dengan baik. Dengan motivasi tersebut diharapkan pasien merasa terdorong dan memiliki semangat untuk selalu melaksanakan pengelolaan DM.

Saran
Bagi penderita DM pengelolaan DM meliputi empat pilar utama yaitu edukasi, perencanaan makan, latihan jasmani dan adanya intervensi farmakologis, dimana keempat pilar tersebut haruslah diterapkan secara kontinyu dan menyeluruh. Serta perlunya motivasi diri yang kuat dan sikap optimistis dari penderita mengenai keberhasilan pengobatan DM. (dibuat oleh Bagus Wicaksono dan Khoirun Nisa)
Petugas kesehatan sebagai ujung tombak pelayanan kesehatan masyarakat perlu mengadakan penyuluhan lebih lanjut mengenai pengaturan makan meliputi jumlah energi, jenis makanan, dan jadwal makan. Penyuluhan dengan menggunakan pamflet dan contoh menu akan dapat lebih memudahkan pasien untuk mengatur makan. Bagi Institusi (Rsud Kabupaten Karanganyar) diharapkan dapat meningkatkan usaha untuk melakukan edukasi yang lebih komprehensif kepada penderita DM terkait upaya pengendalian DM tersebut sehingga dapat meningkatkan kontrol glukosa darah yang baik. (dibuat oleh Nur Hidayah dan M. Sodik)
Bagi Institusi ( Poli Penyakit Dalam RSDK ) perlunya peningkatan usaha untuk melakukan edukasi yang secara cermat dan lebih teliti kepada penderita DM mengenai pentingnya empat pilar tersebut dalam keberhasilan pengelolaan penderita DM. Perlunya meningkatkan penjelasan yang lebih detail dan secara lebih sederhana kepada penderita DM mengenai keempat pilar tersebut sehingga penderita DM lebih mengerti dan mudah untuk mengaplikasikannya. (dibuat oleh Prassilvya Hillary Sirait dan Ayu Indah Wuryani)
Dari hasil penelitian ini diharapkan bahwa para penderita diabetes dapat memotivasi diri untuk senantiasa menerapkan secara kontinyu dan menyeluruh tentang pengendalian DM agar pengobatan dapat berjalan dengan baik. (dibuat oleh Arrohman Nur dan Ismail Razak)
Dari hasil penelitian ini diharapkan menjadi bahan rujukan untuk dilakukan penelitian selanjutnya untuk memperdalam penelitian mengenai faktor-faktor pendukung dalam keberhasilan pengendalian DM.(dibuat oleh M. Sodik dan Nur Hidayah)

REFERENSI
1.    ADA. Diabetes Basics. (Online) (http://www.diabetes.org/diabetes-basics/, diakses 13 maret 2012).
2.    Soegondo S. Penatalaksaan Diabetes Mellitus Terpadu. Jakarta: Balai Penerbit FK UI, 2005.
3.     IDF. One adult in ten will have diabetes by 2030. 5th edition Diabetes Atlas, 2011.
4.    Rahman S, Rahman T, Ismail A, Rashid. Diabetes-associated macrovasculopathy: pathophysiology and pathogenesis, Diabetes Obes Metab. 2007; 9(6): 767–80.
5.    Gholamreza V. Association Between Socio-Demographic Factors and Diabetes Mellitus in The North Of Iran: A Population-Based Study. International Journal of Diabetes Mellitus 2. 2010; 154–157.
6.    Notoatmodjo S. Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku. Rineka Cipta, Jakarta: Rineka Cipta; 2007.
7.    Dinkes Kabupaten Karanganyar. Laporan Tahunan Kasus Penyakit Tidak Menular Dinas Kesehatan Kab. Karanganyar. Karanganyar: Dinkes; 2012.
8.    Sudrisman. Hubungan Pengetahuan Diet dengan Kadar Gula Darah Pasien Diabetes Melitus di Poliklinik Penyakit Dalam Rumah Sakit Roemani Muhammadiyah Semarang. Undergraduate thesis, Universitas Diponegoro, 2008.
9.    Price, Wilson. Patofisiologi, Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jakarta: EGC, 1995.
10.  Notoatmodjo S dkk. Pengantar Perilaku, Ilmu Perilaku Kesehatan. Jakarta: FKM UI, 1985.
11.  WHO. Adherence to Long-Term Therapies. Evidence for Action. 2003.
12.  Notoatmodjo S. lmu Kesehatan Masyarakat Ilmu dan Seni. Jakarta: Rineka Cipta; 2008.
13.  Basuki E. Konseling Medik : Kunci Menuju Kepatuhan Pasien. Majalah Kedokteran Indonesia; 2009; 59(2).
14.  Achmad Y. Hubungan Antara 4 Pilar Pengelolaan DM dengan Keberhasilan Pengelolaan DM Tipe 2. Artikel Ilmiah. Semarang: Universitas Diponegoro, 2011.
15.  Yunir EM. Terapi Non Farmakologis pada Diabetes Melitus. Dalam : Aru W, dkk, editors, Ilmu Penyakit Dalam, Jilid III, Edisi keempat. Jakarta: Penerbit FKUI; 2006.
16.  PERKENI. Konsensus Pengendalian dan Pencegahan Diabetes Mellitus Tipe2 di Indonesia 2011. Jakarta: PERKENI; 2011.
17.  Robert E. Dietary Fiber for the Treatment of Type 2 Diabetes Mellitus: A Meta-Analysis. J Am Board Fam Med. 2012; 25: 16 –23.
18.  Heacock P. Fructose Prefeeding Reduces the Glycemic Response to a High-Glycemic Index, Starchy Food in Humans. JN The Journal of Nutrition. 2002.
19.  Jazilah, Paulus Wijono. Hubungan Tingkat Pengetahuan, Sikap dan Praktek (PSP) Penderita Diabetes Mellitus Mengenai Pengelolaan Diabetes Mellitus dengan Kendali Kadar Glukosa Darah. Sains Kesehatan. 2003; 16(3).
20.  Riyadi, Sujono, Sukarmin. Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Gangguan Eksokrin dan Endokrin pada Pankreas. Yogyakart: Graha Ilmu; 2008; 148 hal, 1 jil.
21.  Puji I., Heru S., Agus S. Pengaruh Latihan Fisik: Senam Aerobik Terhadap Penurunan Kadar Gula Darah Pada Penderita DM Tipe 2 di Wilayah Puskesmas Bukateja Purbalingga. Media Ners. 2007; 1(2): 49-99.
22.  Slamet S. Diabetes Melitus di Indonesia. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006.
23.  Stanley. Buku Ajar Keperawatan Gerontik. Jakarta: EGC; 2006.
24.  Laurentia M. Faktor yang Berhubungan dengan Pengendalian Gula Darah pada Penderita Diabetes Mellitus di Perkotaan Indonesia. Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta. Maj Kedokt Indonesia. 2009; 59(9).
25.  Soegondo S. Farmakoterapi pada pengendalian Glikemia Diabetes Melitus tipe 2. Dalam : Aru W, dkk, editors, Ilmu Penyakit Dalam, Jilid III, Edisi keempat. Jakarta: Penerbit FK UI; 2006.
26.  Rantucci, Melanie J. Membantu Pasien untuk Memiliki Ketaatan dan Membuat Keputusan. In : Manurung, July, ed. Komunikasi Apoteker-Pasien Panduan Konseling Pasien ed. Jakarta: EGC; 2009; 49-81.
27.  Asti T. Kepatuhan Pasien : Faktor Penting dalam Keberhasilan Terapi. Majalah Info POM. 2006; 7(5): 1-3.
























DAFTAR PUSTAKA
A.K. Prima Dewi. 2010. Faktor-Faktor  Yang  Mempengaruhi Praktek Pengukuran Makanan (Diet) Sehari-Hari Pada  Pasien  Dm Tipe 2. Diakses pada tanggal 25 Februari 2013.

Achmad Yoga Seyio Utumo. 2011. Hubungan Antara 4 Pilar Pengelolaan Diabetes Melitus Dengan Keberhasilan Pengelolaan Diabetes Melitus Tipe 2. Diakses Pada 25 Februari 2013.

Banu Hanifah Al Tera. 2011. Determinan Ketidakpatuhan Diet Penderita Diabetes Melitus Tipe 2. Diakses pada 25 Februari 2013.

Dewi marfuah Kurniawati. 2011. Perbedaan Perubahan Berat Badan, Aktivitas Fisik, Dan Kontrol Darah Antara Anggota Organisasi Penyandang Diabetes Militus Dan Non Anggota. Diakses pada 25 Februari 2013.

Eva Mona, dkk. 2012. Hubungan Frekuensi Pemberian Konsultasi Gizi Dengan Kepatuhan DiitSerta Kadar Gula Darah Penderita Diabetes Mellitus Tipe II Rawat Jalan Di RS Tugurejo Semarang. Diakses pada 25 Februari 2013.

Kusniyah. Y, dkk. 2010. Hubungan Tingkat Self Care dengan Tingkat HBA1C pada Klien Diabetes Melitus Tipe 2 di Poliklinik Endokrin Rsup Dr. Hasan Sadikin Bandung. Diakses pada 25 Februari 2013.

Lewi Martha Furi, dkk. 2013. Hubungan Pengetahuan Dan Sikap Mengenai Diet Diabetes Melitus Dengan Tingkat Konsumsi Energi Pada Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 Di Poli Penyakit Rsud Dr. H. Abdul Moeloek Provinsi Lampung Bandar Lampung. Diakses pada tanggal 25 Februari 2013.

Mega Noviasari, dkk. 2013. Hubungan Jenis Pengobatan Dan Sikap Dengan Kualitas Hidup Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 Di Rsud Dr. H. Abdul Moeloek Provinsi Lampung. Diakses pada tanggal 25 Februari 2013.

N. Juni Triastuti, dkk. 2009. Peningkatan Pengetahuan Tentang Diabetes Mellitus Pada Penduduk Desa Bulan Wonosari Klaten. Diakses pada 25 Februari 2013.

Nina Rahmadiliyani Dan Abi Muhlisin, dkk.  2008. Hubungan Antara Pengetahuan Tentang Penyakit Dan Komplikasi Pada Penderita Diabetes Melitus Dengan Tindakan Mengontrol Kadar Gula Darah Di Wilayah Kerja Puskesmas I Gatak Sukoharjo. Diakses Pada 25 Februari 2013.

Nur Aini. 2011. Upaya Meningkatkan Perilaku Pasien Dalam Tatalaksana Diabetes Mellitus Dengan Pendekatan Teori Model Behavioral System Dorothy E. Johnson. Diakses pada 25 Februari 2013.

Prayugo Juwi Susilo Putro Dan Suprihatin. 2012. Pola Diit Tepat Jumlah, Jadwal, Dan Jenis Terhadap Kadar Gula Darah Pasien Diabetes Mellitus Tipe Ii. Diakses Pada 25 Februari 2013.

Radio Putro Wicaksono. 2011. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Diabetes Melitus Tipe 2. Diakses pada tanggal 25 Februari 2013.

Rahmadiliyani, dkk. 2008. Hubungan Antara Pengetahuan Tentang Penyakit Dan Komplikasi Pada Penderita Diabetes Melitus Dengan Tindakan Mengontrol Kadar Gula Darah Di Wilayah Kerja Puskesmas I Gatak Sukoharjo. Diakses Pada 25 Februari 2013.

Rosana Bellawati Sugiarto. 2012. Kepatuhan Kontrol Dengan Tingkat Kadar Gula Darah Pasien Diabetes Mellitus Di Rumah Sakit Baptis Kediri. Diakses Pada 25 Februari 2013.

Sri Anani, dkk. 2012. Hubungan Antara Perilaku Pengendalian Diabetes Dan Kadar Glukosa Darah Pasien Rawat Jalan Diabetes Melitus (Studi Kasus Di RSUD Arjawinangun Kabupaten Cirebon). Diakses Pada Tanggal 25 Februari 2013.

Ucik Witasari Prihatin. 2008. Hubungan Tingkat Pengetahuan, Asupan Karbohidrat Dan Serat Dengan Pengendalian Kadar Glukosa Darah Pada Penderita Diabetes Melitus Tipe Ii Rawat Jalan Di Rsud Dr. Moewardi Surakarta. Diakses Pada 25 Februari 2013.

Yulianta Kusniyah, dkk. 2010. Hubungan Tingkat Self Care Dengan Tingkat Hba1c Klien Diabetes Mellitus Tipe 2 Di Poliklinik Endokrin RSUP DR. Hasan Sadikin Bandung. Diakses Pada 25 Februari 2013.

Zahtamal, dkk. 2008. Faktor-Faktor Risiko Pasien Diabetes Melitus. Diakses Pada 25 Februari 2013.

1 komentar: