FAKTOR RISIKO
PERILAKU YANG BERHUBUNGAN DENGAN KADAR GULA DARAH PADA PENDERITA DIABETES
MELITUS TIPE 2 DI RSUD KABUPATEN KARANGANYAR
Rosita Purnama Dewi
*)Mahasiswa FKM UNDIP,
**)Dosen Bagian Epidemiologi dan
Penyakit Tropik
FKM UNDIP
ABSTRAK
Diabetes Melitus (DM) merupakan penyakit kronik yang
tidak dapat disembuhkan, tetapi dapat dikendalikan melalui pengelolaan DM.
Tingginya jumlah pasien DM rawat inap di RSUD Kabupaten Karanganyar
menggambarkan bahwa pengelolaan DM belum berhasil, yaitu masih banyak kasus
komplikasi akibat kadar gula darah tidak terkendali. Keberhasilan pengelolaan
DM sangat tergantung dari upaya pasien dalam merubah perilakunya mulai dari
pengetahuan, sikap dan praktik agar sesuai dengan perilaku pengelolaan DM.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara perilaku
(pengetahuan, sikap dan praktik) dalam hal diet, olahraga dan pengobatan dengan
kadar gula darah. Jenis penelitian adalah analitik dengan desain cross
sectional. Populasi adalah pasien DM tipe 2 yang berobat di Poliklinik
Penyakit Dalam RSUD Kabupaten Karanganyar. Sampel diambil sebanyak 72 orang,
menggunakan teknik purposive sampling dengan kriteria pemilihan inklusi
dan eksklusi. Pengambilan data dengan wawancara menggunakan kuesioner. Data
dianalisis menggunakan uiji chi-square. Hasil penelitian ini menunjukkan
bahwa faktor perilaku yang berhubungan dengan kadar gula darah adalah sikap
olahraga (p=0,012; OR=6,2; 95%CI=1,3-29,9), sikap pengobatan (p=0,009; OR=6,7;
95%CI=1,4-32,2), praktik diet (p=0,004; OR=7,7; 95%CI=1,6-37,2), praktik
olahraga (p=0,004; OR=7,7; 95%CI=1,6-37,2), dan praktik pengobatan (p=0,002;
OR=9; 95%CI=1,8-43,1). Sedangkan pengetahuan diet (p=0,163; OR=4,9;
95%CI=0,5-41), pengetahuan olahraga (p=0,170; OR=4,4; 95%CI=0,5-37,1), pengetahuan
pengobatan (p=0,125; OR=3,9; 95%CI=0,8-19,1) dan sikap diet (p=0,125; OR=3,6;
95%CI=0,7-17,7) tidak berhubungan dengan kadar gula darah. Dari penelitian ini
dapat disimpulkan bahwa faktor risiko perilaku yang berhubungan dengan kadar
gula darah adalah sikap olahraga, sikap pengobatan, praktik diet, praktik
olahraga dan praktik pengobatan.
Kata kunci : Faktor perilaku, pengelolaan DM, kadar
gula darah, DM tipe 2
LATAR BELAKANG
Diabetes
melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik
hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau
keduanya.(1) Sebagian besar, yaitu sekitar 90% tergolong DM tidak
tergantung insulin atau DM tipe 2 dan 10% DM tergantung insulin atau DM tipe 1.
(2)Menurut witasari ucik dkk, Kekerapan DM tipe
2 di Indonesia berkisar antara 1,5-2,3% kurang lebih 15 tahun yang lalu, tetapi
pada tahun 2001 survei terakhir di Jakarta (Depok) menunjukkan kenaikan yang
sangat nyata yaitu menjadi 12,8% (Suyono, 2005). Menurut Sujudi (2003), sekitar
2,5 juta jiwa atau 1,3% dari penduduk Indonesia setiap tahun meninggal dunia
karena komplikasi DM. (Dikutip oleh Ayu Indah Wuryani)
Prevalensi DM di dunia mengalami
peningkatan yang sangat besar. IDF mencatat sekitar 366 juta orang di seluruh
dunia, atau 8,3% dari orang dewasa, diperkirakan memiliki DM pada tahun 2011.
Jika tren ini berlanjut, pada tahun 2030 diperkirakan dapat mencapai 552 juta
orang, atau 1 dari 10 orang dewasa akan terkena DM. Saat ini Indonesia
menempati urutan ke-10 jumlah penderita DM terbanyak di dunia dengan jumlah 7,3
juta orang dan jika tren ini berlanjut diperkirakan pada tahun 2030 dapat
mencapai 11.8 juta orang. (3) Menurut
Dewi Marfu’ah Kurniawati, hasil Riset Kessehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007
menunjukkan bahwa proporsi penyebab kematian akibat DM pada kelompok umur 45-54
di daerah perkotaan menduduki ranking kedua, yaitu 14,7% sedangkan di daerah
pedesaan Dm menduduki ranking ke-enam yaitu 5,8%. (Dikutip oleh Prassilvya
Hillary Sirait) Sri Anani juga memaparkan data lain
bahwa hasil riset kesehatan dasar (Riskesdas) tahun 2007 menunjukkan
bahwa secara nasional, prevalensi DM berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan dan
gejala adalah 1,1%. Sedangkan prevalensi nasional DM berdasarkan hasil
pengukuran gula darah pada penduduk umur >15 tahun yang bertempat tinggal di
perkotaan adalah 5,7%. Riset ini juga menghasilkan angka Toleransi Glukosa
Terganggu (TGT) secara nasional berdasarkan hasil pengukuran gula darah yaitu
pada penduduk berumur>15 tahun yang bertempat tinggal di perkotaan sebesar
10,2%. ( Dikutip oleh Nur Hidayah)
Orang dengan DM memiliki
peningkatan risiko mengembangkan sejumlah masalah kesehatan akibat komplikasi
akut maupun kronik. Tingkat glukosa darah yang tinggi secara konsisten dapat
menyebabkan komplikasi mikrovaskuler antara lain retinopati, neuropati dan
nefropati dan makrovaskuler antara lain penyakit jantung iskemik, penyakit
serebrovaskular dan penyakit pembuluh darah perifer.(4) DM merupakan penyebab
utama penyakit jantung, kebutaan, gagal ginjal, dan amputasi. DM dan
komplikasinya juga merupakan penyebab utama kematian di negara berkembang. (5)
IDF mencatat 4,6 juta orang umur 20-79 tahun meninggal dunia akibat DM pada
tahun 2011, atau 8,2% dari semua penyebab kematian global pada kelompok usia
tersebut. (3) Selain itu, DM menyebabkan beban ekonomi yang besar
pada individu, sistem kesehatan nasional, dan negara. Menurut
Juni Triastuti dan Iin Novita Mahmudah, Faktor resiko diabetes mellitus
adalah kelompok usia dewasa tua (lebih dari 40 tahun), obesitas, tekanan darah
tinggi, riwayat keluarga diabetes mellitus, riwayat kehamilan dengan berat
badan lahir bayi lebih dari 4.000 gram, riwayat diabetes mellitus pada
kehamilan, dislipedemia (Arif Mansjoer, 2001). (Dikutip oleh Khoirun Nisa).
DM
tipe 2 merupakan penyakit kronik yang tidak dapat disembuhkan tetapi sangat
potensial untuk dapat dicegah dan dikendalikan melalui 4 pilar pengelolaan DM
yang meliputi edukasi, diet, olahraga dan terapi pengobatan. Karena DM adalah
penyakit yang berhubungan dengan gaya hidup, maka berhasil tidaknya pengelolaan
DM sangat tergantung dari pasien itu sendiri dalam mengubah perilakunya. Secara
teori, proses perubahan perilaku melalui 3 tahap yaitu pengetahuan, sikap dan
praktik, meskipun dalam kenyataannya tidak selalu demikian tapi sudah banyak
penelitian yang membuktikan hal itu. (6) Hal ini juga selain dengan banu hanifa bahwa Empat pilar utama pengelolaan DMT2 adalah perencanaan makan, latihan
jasmani, obat berkhasiat hipoglikemik, dan penyuluhan.8 Perencanaan makan
merupakan komponen utama keberhasilan penatalaksanaan DMT2.9 Perencanaan makan
bertujuan membantu penderita DMT2 memperbaiki kebiasaan makan sehingga dapat
mengendalikan kadar glukosa, lemak, dan tekanan darah. Keberhasilan perencanaan makan
bergantung pada perilaku penderita DMT2 dalam menjalani anjuran makan yang
diberikan. Ketidakpatuhan pasien dalam perencanaan makan merupakan salah satu
kendala dalam pengobatan DMT2. Data laporan WHO tahun 2003 menunjukkan hanya
50% pasien DMT2 di negara maju mematuhi pengobatan yang diberikan. (Dikutip oleh Ayu
Indah Wuryani).
Di Kabupaten Karanganyar,
penyakit DM, khususnya DM tipe 2 merupakan penyakit non menular dengan prevalensi
tertinggi kedua setelah hipertensi esensial. Berdasarkan Laporan Tahunan Kasus
Penyakit Tidak Menular Dinas Kesehatan Kabupaten Karanganyar, prevalensi DM
tipe 2 selalu mengalami peningkatan setiap tahun. Pada tahun 2009, prevalensi
DM tipe 2 sebesar 10.924 kasus, kemudian mengalami peningkatan 12,04% pada
tahun 2010 menjadi 12.239 kasus. Pada tahun 2011 prevalensi DM menurun 7,96%
menjadi 11.265 kasus. RSUD Kabupaten Karanganyar merupakan rumah sakit rujukan
khususnya untuk kasus DM di Kabupaten Karanganyar. Berdasarkan data Rekam Medik
10 Besar Penyakit Rawat Jalan RSUD Karanganyar menunjukkan DM menempati urutan
kedua dalam jumlah terbanyak. Jumlah kunjungan rawat jalan pasien DM tipe 2
pada tahun 2011 sebesar 2.990 kasus lama dan 413 kasus baru. Jumlah pasien DM
tipe 2 yang dirawat inap juga selalu tinggi, yaitu sebesar 285 pasien pada
tahun 2009, 230 pasien pada tahun 2010 dan 167 pasien pada tahun 2011. Jumlah
kematian pada tahun 2011 menempati urutan ketiga setelah hipertensi lain dan
hipertensi esensial, yaitu sebesar 25 kasus.(7) Menurut banu
hanifa, World Heatlh Organization (WHO) memprediksi kenaikan jumlah
pasien di Indonesia dari 8.4 juta pada tahun 2000 menjadi 21.3 juta pada tahun
2030.4 Kasus Diabetes Melitus tipe 2 (DMT2) sebagai kasus yang paling banyak
dijumpai mempunyai latar belakang berupa genetik, resistensi insulin, dan
insufisiensi sel beta pankreas dalam memproduksi insulin. (Dikutip oleh
Prassilvya Hillary Sirait)
Banyaknya jumlah pasien DM tipe 2
yang dirawat inap di RSUD Kabupaten Karanganyar menandakan bahwa banyak pasien
yang mengalami komplikasi yang mengharuskan mereka untuk dirawat inap, dimana
gangguan tersebut adalah akibat dari kadar gula darah yang tidak terkendali.
Untuk dapat mengendalikan kadar gula darah dengan baik dan mencegah terjadinya
komplikasi maka perlu mengetahui penyebab dari kadar gula darah yang tidak
terkendali tersebut dengan melihat bagaimana perilaku penderita DM tipe 2 dalam
mengendalikan kadar gula darah. Penelitian tentang faktor risiko perilaku yang
berhubungan dengan kadar gula darah pada penderita DM tipe 2 di RSUD Kabupaten
Karanganyar belum pernah dilakukan. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk
mengetahui dan menganalisis faktor perilaku (pengetahuan, sikap dan praktik)
diet, olahraga dan pengobatan yang berhubungan dengan kadar gula darah pada
penderita DM tipe 2 di RSUD Kabupaten Karanganyar.
SUBJEK DAN METODE
Penelitian ini merupakan penelitian analitik dengan desain cross
sectional. Populasi penelitian ini adalah pasien DM tipe 2 yang berobat di
Poliklinik Penyakit Dalam RSUD Kabupaten Karanganyar. Sampel diambil sebanyak
72 orang, menggunakan teknik purposive sampling. Variabel terikat adalah
kadar glukosa darah puasa. Variabel bebas terdiri dari pengetahuan diet,
pengetahuan olahraga, pengetahuan pengobatan, sikap diet, sikap olahraga, sikap
pengobatan, praktik diet, praktik olahraga dan praktik pengobatan. Pengambilan
data dengan wawancara menggunakan kuesioner. Data dianalisis menggunakan uiji chi-square.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Umum
Tabel 1 Karakteristik Umum Responden
Variable
|
Kategori
|
F
|
%
|
Umur
|
Mean
minimum
maximum
|
|
53,89
38,00
60,00
|
Sex
|
laki-laki
perempuan
|
29
43
|
40,3
59,7
|
Pendidikan
|
tidak
sekolah
SD
SMP
SMA
PT
/ Akademi
|
11
16
7
16
22
|
15,3
22,2
9,7
22,2
30,6
|
Pekerjaan
|
PNS
Swasta
Petani
Wiraswasta
Pensiun
Tidak
Bekerja
|
16
11
6
7
11
21
|
22,2
15,3
8,3
9,7
15,3
29,2
|
penghasilan
|
<
0,5 jt
0,5
– 1 juta
1
- 2 juta
>2
juta
|
6
11
14
41
|
8,3
15,3
19,4
56,9
|
lama
sakit
|
<1
th
1-5
th
6-10
th
11-15
th
16-20
th
|
11
38
11
10
2
|
15,3
52,8
15,3
13,9
2,8
|
GDP
|
Normal
Tidak
Normal
|
17
55
|
23,6
76,4
|
Tabel 1 menunjukkan bahwa umur responden rata-rata 53-54 tahun.
Sebagian besar responden berjenis kelamin perempuan (59,7%). Latar belakang pendidikan
sebagian besar (30,6%) berpendidikan PT/Akademi. Sedangkan untuk pekerjaan
sebagian besar (29,2%) tidak bekerja. Penghasilan keluarga sebagian besar
(56,9%) > 2 juta. Sebagian besar responden (52,8%) sudah mengalami sakit 1-5
tahun. Sebagian besar responden (76,4%) memiliki kadar glukosa darah tidak
normal yaitu melebihi standar glukosa normal puasa yaitu 126 mg/dl.
![]() |
Hasil analisis menunjukkan bahwa
tidak ada hubungan yang bermakna antara pengetahuan diet (p=0,163) dengan kadar
gula darah. Hasil ini tidak sesuai dengan penelitian sebelumnya oleh Sudrisman
(2008)(8) bahwa ada hubungan pengetahuan diet dengan kadar gula
darah pasien DM di Rumah Sakit Roemani Muhammadiyah Semarang (p=0,001). Hasil
penelitian A.K. Prima Dewi dkk menunjukkan bahwa adanya hubungan antara pengetahuan dengan kadar
glukosa darah dengan nilai P=<0,001 dan OR=14,01. (Dikutip oleh Arrohman Nur). Hasil penelitian Nadia Rohmatul dkk juga menunjukkan
adanya hubungan antara pengetahuan diet responden pada kelompok perlakuan sebelum dan
sesudah diberikan edukasi dengan pendekatan prinsip DSME yaitu dari 12 reponden sesudah
perlakuan dilakukan dengan kategori baik sebanyak 8,3 %, cukup sebanyak 50 %,
kurang sebanyak 41,7 %. (P=0,004).(Dikutip oleh M. Sodik). Hal ini bertolak belakang dengan hail penelitian Lewi Martha Furi yang menunjukkan,
dari 82 responden terdapat 22 responden (26,8%) yang memiliki pengetahuan baik
dengan tingkat konsumsi energi yang kurang. Dari hasil uji statistik Chi Square
didapatkan 3 sel expected value < 5 sehingga dilakukan penggabungan sel,
kemudian di uji kembali dengan Chi Square didapatkan p-value sebesar 0,520 dan
α=0,05 (p-value>α). Hal ini menyatakan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna
antara pengetahuan dengan tingkat konsumsi energi responden. (Dikutip
oleh Ismail Razak)
Berdasarkan hasil wawancara, sebagian besar responden (80,6%)
sudah memiliki pengetahuan yang baik tentang diet DM. Dilihat dari tingkat
pendidikan responden sebagian besar (30,6%) berpendidikan tinggi yaitu PT.
Tingkat pendidikan yang tinggi memungkinkan seseorang memiliki pengetahuan yang
lebih dan akan lebih mudah mencari dan menyerap informasi berkaitan dengan
penyakitnya. Menurut Price dan Wilson (1995)(9), pasien DM relatif
dapat hidup normal bila mengetahui dengan baik keadaan dan cara penatalaksanaan
penyakit tersebut. Namun, dalam penelitian ini, pengetahuan diet tidak
berhubungan dengan kadar gula darah. Hal tersebut dapat dikarenakan pengetahuan
yang baik tidak selalu diikuti dengan sikap dan praktik yang baik. Menurut
Green, pengetahuan merupakan predisposisi evaluatif yang banyak menentukan
bagaimana individu bertindak, akan tetapi masih ada faktor pendukung dan
pendorong yang juga mempengaruhi individu untuk bertindak, sehingga pengetahuan
dengan tindakan nyata seringkali berbeda jauh.(10) Sebagai contoh, situasi lingkungan yang membuat pasien DM
melanggar aturan diet adalah saat liburan, pesta, makan di luar rumah, saat
sendiri dan bosan, ada permasalahan dan sebagainya.(11) Menurut Nur Aini, dkk,
2011, Gula darah puasa responden kelompok
perlakuan mengalami penurunan dari 224 gr/dl menjadi 156 gr/dl, demikian pula
pada kelompok kontrol mengalami penurunan dari 224 gr/dl menjadi 190 gr/dl.
Hasil uji statistik pada kelompok perlakuan menunjukkan ada perbedaan
signifikan gula darah sebelum dan sesudah intervensi, sedangkan pada kelompok
kontrol tidak ada perbedaan signifikan meskipun gula darah post test mengalami
penurunan. Gula darah 2 jam PP responden kelompok perlakuan mengalami penurunan
dari 239 gr/dl menjadi 226 gr/dl, sedangkan pada kelompok kontrol mengalami
peningkatan dari 232 gr/dl menjadi 248 gr/dl. Hasil uji statistik pada kelompok
perlakuan menunjukkan ada perbedaan signifikan gula darah 2 jam PP sebelum dan
sesudah intervensi, sedangkan pada kelompok kontrol tidak ada perbedaan. (Dikutip oleh Nur Hidayah dan Khoirun Nisa )
![]() |
Hasil
analisis menunjukkan bahwa tidak
ada hubungan yang bermakna antara sikap diet dengan kadar gula darah (p=0,125).
Hal ini tidak sesuai dengan penelitian Jazilah dkk (2003)(19) bahwa
sikap pengelolaan DM tipe 2 berhubungan dengan kendali kadar gula darah
(OR=2,34 (0,986-5,570)). Hasil penelitian Nadia Rohmatul dkk juga
menunjukkan adanya hubungan antara kepatuhan diet pada kelompok perlakuan
sebelum dan sesudah diberikan edukasi dengan pendekatan prinsip DSME yaitu dari
12 reponden sesudah perlakuan dilakukan dengan kategori positif sebanyak 83,3 %
dan negative sebanyak 16,7 % nilai untuk P=0,025. (Dikutip oleh Ayu Indah Wuryani dan Prassilvya
Hillary Sirait)
Hal ini bertolak belakang dengan hasil
penelitian Lewi Martha Furi yang menyatakan, dari 82 responden didapatkan 25
responden (30,5%) memiliki sikap yang baik dengan tingkat konsumsi energy yang
kurang. Dari hasil uji statistik Chi Square didapatkan 2 sel expected value
<5, sehingga dilakukan uji Kolmogorov-Smirnov didapatka p-value sebesar 0,43
dan α=0,05 (p-value> α). Hal ini menyatakan bahwa tidak ada hubungan
bermakna antara sikap dengan tingkat konsumsi energi responden. (Dikutip oleh M. Sodik dan
Arrohman Nur)
Hasil penelitian ini tidak sesuai
dengan teori Notoatmodjo bahwa suatu penyakit dapat dicegah dengan perilaku
kesehatan yang didukung dengan pengetahuan dan sikap yang baik terhadap
penyakit tersebut.(10) Pengetahuan dan sikap ini dapat membentuk
keyakinan tertentu sehingga seseorang berperilaku sesuai keyakinan tersebut.
Berdasarkan hasil wawancara,
sebagian besar responden (72,2%) memiliki sikap yang baik terhadap diet DM.
Sikap negatif dapat disebabkan karena belum mengetahui atau merasakan
manfaatnya. Sikap positif tidak selalu terwujud dalam tindakan nyata karena
beberapa alasan, yaitu tergantung situasi saat itu, mengacu pada pengalaman
orang lain dan pengalaman seseorang.(12)
Sikap positif pasien DM terhadap diet disebabkan
karena sudah mengetahui dan merasakan manfaat diet ataupun melihat pengalaman
dari orang lain di sekitarnya dapat hidup sehat. Akan tetapi agar sikap menjadi
perbuatan nyata diperlukan faktor pendukung atau suatu kondisi yang
memungkinkan. Seperti misalnya pasien yang telah berniat makan sesuai anjurkan
ahli gizi, keluar dari jalur tersebut karena situasi di rumah atau di kantor
yang tidak mendukung, seperti sedang ada pesta atau perayaan.(13) Menurut eva mona, dkk, 2012, Hasil penelitian
kepatuhan diet
dengan kadar GDS di RSUD Tugurejo Semarang secara deskriptif menunjukkan bahwa
dari 34 responden yang mengalami Diabetes
Mellitus, kepatuhan diit terbanyak 21 orang (61,8%) berkategori cukup
patuh dan kadar
GDS terbanyak 25 orang (73,5%) berkategori >200 mg/dl. Berdasarkan hasil analisis kenormalan data
dengan menggunakan
Kolmogorov Smirnov
diketahui bahwa data berdistribusi tidak normal dengan p-value =
0,031 dan p-value =
0,060, sehingga mengetahui keeratan
hubungan menggunakan uji Rank-Sperman. Pada uji tersebut diperoleh r = 0,537 dan p-value 0,001
(<0,05) sehingga dapat disimpulkan ada hubungan
kepatuhan diit dengan kadar gula darah penderita Diabetes Mellitus. (dikutip
oleh Ayu Indah Wuryani dan
Prassilvya Hillary
Sirait)
Praktik Diet
Tabel 4 Hubungan Praktik Diet dengan
Kadar Gula Darah
![]() |
Hasil
analisis menunjukkan bahwa praktik diet yang kurang baik merupakan faktor
risiko kadar gula darah puasa tidak normal (p=0,004; OR=7,7; 95% CI=1,6-37,2).
Hasil ini sesuai dengan penelitian Achmad (2011)(14) bahwa pola
makan yang tidak baik berisiko 4 kali tidak berhasil dalam pengelolaan DM
(p=0,008; OR=4,297; 95% CI=1,41-13,068). Hal ini juga sejalan
dengan penelitian yang dilakukan oleh Sri Anani dkk, dimana proporsi penderita DM lebih besar
pada responden yang masuk dalam kategori kebiasaan makan kurang baik sehingga
sejalan dengan kondisi glukosa darah yang belum terkendali, hasil yang didapat
yaitu dari 52 responden yang melakukan kebiasaan makan kurang baik 83,70 %
dengan nilai P =0,001. Dari
jurnal tersebut disebutkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi kenaikan
glukosa darah adalah kandungan serat dalam makanan, proses penceranaan, cara
pemasakannya, waktu makan dengan lambat atau cepat. pada penderita DM terdapat
ketidakmampuan untuk menghasilkan insulin karena sel-sel beta pankreas telah
dihancurkan oleh proses autoimun. Dan apabila sel-sel beta tidak mampu
mengimbangi peningkatan kebutuhan akan insulin maka kadar glukosa akan
meningkat. (Dikutip oleh Ismail Razak) Hasil penelitian Radio Putro Wicaksono
juga menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara kebiasaan minuman/makanan manis
dengan kadar glukosa darah yaitu dari 30 responden yang mengkonsumsi
makanan/minuman yang sering sebesar 66,67 % dan yang jarang hanya 33,33 %
dengan nilai p=0,292 dan odds ratio (OR)
sebesar 1,75.(Dikutip oleh Nur HIdayah dan M. Sodik) Hasil penelitian Achmad Yoga Setyo Utomo
juga membuktikan bahwa kepatuhan minum obat dengan kadar glukosa darah memiliki
hubungan dengan nilai p = 0,01 (<0,05) dan odds rasio (OR) sebesar 4,03
dengan 95% confidence interval (CI) : 1,37<4<11,84 selain itu pada
penelitian antara pola makan dengan kadar glukosa darah juga memiliki hubungan
dengan nilai P=0,008 (<0,05) dan odds ratio (OR) sebesar 4,297 dengan 95%
confidence interval (CI) : 1,41<4,297<13,068.(Dikutip oleh Khoirun Nisa
dan Arrohman Nur) Hasil penelitian Ucik juga menunjukkan
adanya hubungan antara asupan karbohidrat dengan glukosa darah puasa yaitu dari
12 responden terdapat asupan karbohidrat yang baik sebanyak 3,3 % dan tidak
baik 36,7 % dengan nilai P=0,346. Selain itu antara asupan serat dengan glukosa
darah puasa juga memiliki hubungan yaitu dari 12 responden terdapat asupan
serat dengan glukosa darah puasa yang baik sebanyak 0 % dan tidak baik 40 % dengan nilai P=0,561. (Dikutip oleh Bagus
Wicaksono dan Ismail Razak) Hasil penelitian Nadia Rohmatul dkk juga menunjukkan adanya hubungan
antara tindakan kepatuhan diet
responden pada kelompok perlakuan sebelum dan sesudah diberikan edukasi dengan
pendekatan prinsip DSME yaitu dari 12 reponden sesudah perlakuan
dilakukan dengan kategori patuh sebanyak 0 %, cukup sebanyak 33,3 %, kurang
sebanyak 66,7 %. (P=0,002). (Dikutip oleh Nur Hidayah dan M. Sodik)
Menurut Yunir dalam Aru W dkk (15),
kepatuhan diet berfungsi mempertahankan berat badan normal, menurunkan tekanan
darah, menurunkan glukosa darah, memperbaiki profil lipid, meningkatkan
sensitivitas insulin dan memperbaiki sistem koagulasi darah.
Diet rendah karbohidrat telah
terbukti menurunkan gula darah puasa (p=0,025), menurunkan HbA1C dan
memperbaiki sensitivitas insulin.(16) Penelitian meta analisa oleh
Robert E(17) menunjukkan bahwa secara keseluruhan asupan serat dapat
menurunkan gula darah puasa dan HbA1c. Peningkatan kadar serat dapat menurunkan
indeks glikemik dari makanan sehingga mengurangi glukosa darah dan HbA1c.
Peningkatan total asupan sayuran harian dan sayuran hijau menunjukkan adanya
penurunan HbA1c, trigliserida, dan lingkar pinggang (p=0,025). Dosis kecil
fruktosa dalam buah yang dikonsumsi 30 atau 60 menit sebelum makanan yang
berindeks glikemik tinggi, dapat menurunkan respon glikemik dibandingkan dengan
yang dimakan bersama-sama atau tidak makan buah sama sekali.
Dari hasil wawancara, ada
beberapa hal mengenai praktik diet DM yang belum diterapkan oleh responden.
Secara umum responden mengaku hal yang paling sulit dalam mengatur makan adalah
tidak dapat menahan nafsu makan dan sering merasa lapar. Sebesar 75% responden
tidak mengatur jadwal makan selingan karena tidak mengetahui cara mengatur
jadwal dan suka “ngemil”. Sebesar 62,5% responden yang tidak menakar jumlah makanan sesuai dengan
kebutuhan individu, hanya mengurangi porsi makan dari sebelum didiagnosis DM
dikarenakan tidak mengetahui caranya dan tidak sabar. Sebesar 50% responden
tidak mengonsumsi buah 2-4 porsi sehari, ada yang lebih dan ada yang tidak
makan buah karena tidak begitu memperhatikan hal itu, karena keterbatasan
ekonomi dan takut gula darah tinggi jika makan buah karena rasanya yang manis. Menurut Zahtamal dkk, 2008, Analisis data dengan menggunakan uji
korelasi spearman’s rho diketahui bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna secara statistik
antara pola makan dengan kejadian DM (p = 0,896). Pendugaan faktor risiko pola makan
didapatkan OR sebesar 1,06 (probabilitas untuk terjadinya DM pada orang dengan pola makan tidak sehat dan pola makan sehat adalah lebih kurang sama atau 1 banding 1. Selanjutnya PAR diperoleh nilai
sebesar 0,06 (sekitar 6% kasus DM dapat dicegah dengan menghilangkan faktor risiko adanya pola
makan yang tidak sehat). (Dikutip oleh Ayu Indah dan Prassylvia) Menurut Prayugo Juwi Susilo Putro dan
Suprihatin, 2012, Setelah dilakukan uji statistik Regresi Linier Ganda dengan Software
computer dengan taraf signifikansi adalah α ≤ 0,05 pada diit tepat jumlah,
jadwal, dan jenis dengan kadar gula darah pasien diabetes mellitus tipe II,
pada tabel 5 didapatkan ; nilai p=0,000 dari uji statistik pengaruh jumlah
dengan kadar gula darah puasa, karena nilai p<α maka Ho ditolak dan Ha diterima,
sehingga ada hubungan antara diit tepat jumlah dengan gula darah puasa pasien
diabetes mellitus tipe II, nilai p=0,247 dari uji statistik pengaruh jadwal
dengan kadar gula darah puasa, karena nilai p>α maka Ho diterima dan Ha
ditolak, sehingga tidak ada hubungan antara diit tepat jadwal dengan gula darah
puasa pasien diabetes mellitus tipe II, nilai p=0,432 dari uji statistik
pengaruh jenis dengan kadar gula darah puasa, karena nilai p>α maka Ho
diterima dan Ha ditolak, jadi tidak ada hubungan antara diit tepat jenis dengan
gula darah puasa pasien diabetes mellitus tipe II. Karena nilai p jumlah lebih
kecil dari α, nilai p jadwal lebih besar dari α dan nilai p jenis lebih besar
dari α, maka dapat disimpulkan bahwa ada hubungan pola diit tepat jumlah,
jadwal, dan jenis dengan gula darah puasa pasien diabetes mellitus tipe II.
(Dikutip oleh Ismail Razak dan Khoirun Nisa)
![]() |
Hasil analisis menunjukkan bahwa
tidak ada hubungan yang bermakna antara pengetahuan olahraga (p=0,170) dengan
kadar gula darah. Hasil ini tidak sesuai dengan penelitian Achmad (2011)(14)
bahwa pengetahuan yang tidak baik berisiko 4 kali tidak berhasil dalam
pengelolaan DM (p=0,015; OR=4 (1,27-12,58).
Berdasarkan hasil wawancara,
81,9% responden sudah memiliki pengetahuan yang baik tentang olahraga DM.
Dilihat dari tingkat pendidikan sebagian besar (30,6%) berpendidikan PT.
Pendidikan yang tinggi memungkinkan seseorang memiliki pengetahuan yang lebih
dan akan lebih mudah mencari dan menyerap informasi berkaitan dengan
penyakitnya. Secara statistik pengetahuan olahraga tidak berhubungan dengan
kadar gula darah. Hal ini dapat dikarenakan pengetahuan yang baik tidak selalu
diikuti dengan praktik yang baik. Menurut Basuki(13), untuk terwujudnya
pengetahuan dan sikap agar menjadi suatu perbuatan nyata, diperlukan faktor
pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan, antara lain adalah fasilitas.
Sebagai contoh seorang pasien yang telah mempunyai pengetahuan dan sikap yang
baik terhadap olahraga, mungkin tidak dapat berolahraga karena tidak adanya
fasilitas olahraga dan adanya keterbatasan waktu atau tidak sempat.
![]() |
Hasil menunjukkan bahwa sikap olahraga
yang kurang baik merupakan faktor risiko kadar gula darah puasa tidak normal
(p=0,012; OR=6,2; 95% CI=1,3-29,9). Sesuai dengan penelitian Jazilah dkk
(2003)(19) bahwa sikap tentang pengelolaan DM berhubungan dengan kadar gula
darah (OR=2,34 (0,986-5,570)). Hal
ini juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan Sri Anani dkk, yang menyatakan bahwa ada hubungan antara kebiasaan olahraga dengan kondisi
glukosa darah responden. Hal ini ditunjukkan dengan besarnya nilai p= 0,041. Sebagian besar responden yang
mempunyai kadar glukosa tidak normal yaitu 73,30% tidak mempunyai kebiasaan
olahraga seperti jogging, senam, tennis, lari
dan sebagainya. (Dikutip oleh Bagus Wicaksono dan Arrohman Nur)
Sesuai teori Notoatmodjo(10)
bahwa suatu penyakit dapat dicegah dengan perilaku kesehatan yang didukung
dengan pengetahuan dan sikap yang baik terhadap penyakit tersebut. Pengetahuan
dan sikap ini dapat membentuk keyakinan tertentu sehingga seseorang berperilaku
sesuai keyakinan tersebut. Dengan sikap yang baik terhadap olahraga maka
kecenderungan untuk melakukan olahraga juga akan lebih baik dan demikian pula
sebaliknya.
Praktik Olahraga
Tabel 7 Hubungan Praktik Olahraga dengan Kadar Gula
Darah
praktik
olahraga
|
kadar
gula darah
|
Total
|
|
tidak
normal
|
normal
|
||
kurang n
%
|
28
93,3
|
2
6,7
|
30
100
|
baik n
%
|
27
64,3
|
15
35,7
|
42
100
|
total
|
55
76,4
|
17
23,6
|
72
100
|
p-value =
0,004; OR=7,7(1,6-37,2)
Hasil analisis menunjukkan bahwa praktik olahraga yang
kurang baik merupakan faktor risiko kadar gula darah puasa tidak normal
(p=0,004; OR=7,7(1,6-37,2)). Hasil ini sesuai dengan penelitian Achmad
(2011)(14) bahwa olahraga secara teratur berhubungan dengan keberhasilan
pengelolaan DM tipe 2 (p=0,002). Hal ini sejalan
dengan penelitian yang dilakukan oleh Achmad Yoga Seyio Utumo, bahwa responden
yang melakukan olahraga secara teratur dan baik memiliki hubungan yang
signifikan terhadap keberhasilan pengelolaan diabetes melitus tipe 2 (P=0,002).
Latihan jasmani atau olahraga ini terbukti dapat meningkatkan sensitifitas
reseptor di jaringan perifer terhadap insulin sehinga glokose update meningkat
dan status glikemik membaik . Hasil penelitian ini
membuktikan bahwa seluruh variable independen keteraturan berolah raga dapat menjelaskan
keberhasilan pengelolaan DM tipe 2 sebesar 40.1%, sedangkan sisanya yaitu
sebesar 59,9% dijelaskan oleh variabel lain yang tidak dijelaskan dalam
penelitian ini.(Dikutip oleh Ayu Indah Wuryani dan Nur
Hidayah)
Pada penelitian Sri anani juga membuktikan
bahwa ada hubungan antara aktivitas fisik dengan kadar glukosa darah, hasil
yang didapat yaitu dari 52 responden terdapat 93,80 % aktivitas fisik kurang
dan 60,70 % aktivitas fisik cukup (P=0,012). Selain itu Sri anani juga
membuktikan bahwa adanya hubungan antara olahraga dengan kadar glukosa darah,
hasil yang didapat yaitu dari 52 responden yang tidak melakukan olahraga
terdapat 73,30 % dan yang melakukan olahraga 47,10 % (P=0,041).(Dikutip oleh
Ismail Razak dan M. Sodik) Selain itu
pada penelitian Radio Putro Wicaksono juga membuktikan bahwa antara aktivitas
olahraga dengan kadar glukosa darah memiliki hubungan, hasil yang didapat yaitu
dari 30 responden yang kurang melakukan aktivitas olah raga terdapat 66,7 % dan
yang cukup adalah 33,3 % dengan nilai p = 0,038 dan odds ratio 3,00. (Dikutip
oleh Khoirun Nisa dan Prassilvya Hillary Sirait) Proporsi
kasus dengan aktivitas fisik tidak baik sebesar 46% dan pada kontrol sebesar
14%. Hasil uji chi-square menunjukkan nilai p = 0,000 (p<0,05) artinya bahwa
ada perbedaan proporsi yang signifikan antara kasus dengan aktifitas fisik
tidak baik dengan kontrol terhadap kejadian diabetes melitus tipe 2. Nilai OR =
5,2 artinya penderita diabetes melitus tipe 2 kemungkinan aktifitas fisiknya
tidak baik 5,2 kali lebih besar daripada yang tidak menderita diabetes melitus
tipe 2.
Menurut
Riyadi (2008)(20), latihan jasmani atau olahraga dapat menjaga kebugaran,
menurunkan berat badan dan memperbaiki sensitivitas insulin, sehingga akan memperbaiki
kendali glukosa darah. Olahraga teratur (3-5 kali seminggu selama kurang lebih
30-60 menit) akan memperbaiki sirkulasi insulin dengan cara meningkatkan
dilatasi sel dan pembuluh darah sehingga membantu masuknya glukosa ke dalam
sel.
Otot-otot
yang aktif bergerak tidak diperlukan insulin untuk memasukan glukosa ke dalam
sel karena pada otot yang aktif sensitivitas reseptor insulin menjadi meningkat
sehingga ambilan glukosa meningkat 7-20 kali lipat.(21) Namun respon ini hanya
terjadi sementara setiap kali berolahraga dan tidak menetap. Oleh karena itu
olahraga ini harus dilakukan terus menerus dan teratur.(22)
Dari hasil wawancara, jenis
olahraga yang biasa dilakukan oleh responden adalah jalan kaki, bersepeda,
renang dan senam. Ada beberapa hal mengenai praktik olahraga yang masih belum
diterapkan oleh responden. Sebesar 98,6% responden tidak menentukan intensitas
olahraga dengan menghitung detak jantung (60–70% THR) karena tidak mengetahui
caranya dan berhenti olahraga jika sudah lelah sehingga intensitas olahraga
dapat kurang ataupun melebihi ketentuan. Sebesar 50% responden tidak melakukan
olahraga 30-60 menit sehari dikarenakan mudah lelah, malas dan beranggapan
bahwa olahraga yang penting sudah gerak. Sebesar 50% responden tidak mengurangi
kegiatan yang tidak banyak gerak seperti tiduran, nonton TV dan duduk-duduk
mengaku tidak ada pekerjaan karena sudah pensiun atau tidak bekerja sehingga
kegiatan sehari-hari hanya bersantai-santai. Sebesar 41,7% responden tidak
melakukan olahraga 3-5 kali seminggu karena harus segera bekerja, beranggapan
pekerjaan sehari-hari sudah seperti olahraga dan tidak ada teman berolahraga.
Pengetahuan Pengobatan
Tabel 8 Hubungan Pengetahuan Pengobatan dengan Kadar
Gula.
Pengetahuan
pengobatan
|
Kadar
Gula Darah
|
Total
|
|
tidak
normal
|
Normal
|
||
kurang n
%
|
19
90,5
|
2
9,5
|
21
100
|
baik n
%
|
36
70,6
|
15
29,4
|
51
100
|
total n
%
|
55
76,4
|
17
23,6
|
72
100
|
p-value =
0,125; OR-3,9 (0,8-19,1)
Hasil
analisis menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara pengetahuan
pengobatan (p=0,125) dengan kadar gula darah. Hasil ini tidak sesuai dengan
penelitian Achmad (2011)(14) bahwa pengetahuan yang tidak baik mempunyai risiko
4 kali tidak berhasil dalam pengelolaan DM (p=0,015; OR=4 (1,27-12,58). Hal ini
sejalan dengan hasil penelitian Achmad yoga,
ini membuktikan bahwa pengetahuan tentang pengelolaan DM tidak
berpengaruh signifikan terhadap keberhasilan pengelolaan DM tipe 2 (P = 0.26). (Ayu Indah Wuryani dan Prassilvya Hillary Sirait) Hal ini bertolak belakang dengan Yulianti Kusniyah,
dkk yang menyatakan bahwa terdapat hubungan yang cukup berarti antara
tingkat self care dengan tingkat HbA1C
di Poliklinik Endokrin RSUP Dr. Hasan
Sadikin Bandung. Nilai koefisien korelasi rank2spearman yang didapat pada
penelitian ini sebesar rs = 0,601 (p < 0,001) dan berpola positif artinya
semakin tinggi tingkat self care maka
semakin baik tingkat HbA1C2nya. (Dikutip oleh Ismail Razak dan M sodik)
Berdasarkan hasil wawancara,
sebagian besar responden (70,8%) sudah memiliki pengetahuan yang baik tentang
pengobatan DM. Dilihat dari tingkat pendidikan responden sebagian besar (30,6%)
berpendidikan PT. Tingkat pendidikan yang tinggi memungkinkan seseorang
memiliki pengetahuan yang lebih dan akan lebih mudah mencari dan menyerap
berbagai informasi berkaitan dengan penyakitnya.
Secara statistik pengetahuan
pengobatan tidak berhubungan dengan kadar gula darah. Hal tersebut dapat
dikarenakan pengetahuan yang baik tidak selalu diikuti dengan praktik yang baik.
Menurut Schwartz et al dalam Stanley(23) menyatakan bahwa 21% pasien yang
membuat kesalahan serius dalam penggunaan obat disebabkan pengetahuan mereka
yang tidak akurat.
Menurut data WHO (2003)(11),
rendahnya tingkat kepatuhan pengobatan pada penderita DM dipengaruhi oleh
beberapa faktor diantaranya karakteristik pengobatan dan penyakit (kompleksitas
terapi, durasi penyakit dan pemberian perawatan), faktor intrapersonal (umur,
gender, rasa percaya diri, stres, depresi dan penggunaan alkohol), faktor interpersonal
(kualitas hubungan pasien dengan penyedia layanan kesehatan dan dukungan
sosial) dan faktor lingkungan (situasi berisiko tinggi dan sistem lingkungan).
Meskipun pengetahuan pasien sudah
baik, namun praktik pasien masih kurang. Hal inilah yang menyebabkan
pengetahuan pengobatan tidak berhubungan dengan kadar gula darah.
Sikap Pengobatan
Tabel 9 Hubungan Sikap Pengobatan dengan Kadar Gula
Darah
Sikap pengobatan
|
Kadar
Gula Darah
|
Total
|
|
tidak
normal
|
Normal
|
||
kurang n
%
|
26
92,9
|
2
7,1
|
28
100
|
baik n
%
|
29
65,9
|
15
34,1
|
44
100
|
total n
%
|
55
76,4
|
17
23,6
|
72
100
|
p-value =
0,009; OR=6,7 (1,4-32,2)
Hasil analisis menunjukkan bahwa sikap pengobatan yang kurang baik
merupakan faktor risiko kadar gula darah puasa tidak normal (p=0,009; OR=6,7;
95% CI=1,4-32,2). Hasil ini sesuai dengan penelitian Jazilah dkk (2003)(19)
bahwa sikap tentang pengelolaan DM berhubungan dengan kendali kadar gula darah
(OR=2,34 (0,986-5,570)). Menurut Nina Rahmadiliyani dan Abi Muhlisin, bahwa pengetahuan tentang penyakit dan komplikasi pada penderita diabetes
melitus menunjukkan rata-rata terbanyak mempunyai pengetahuan sedang sebanyak
20 orang (47,6 %), tindakan mengontrol
kadar gula darah menunjukkan rata-rata terbanyak adalah kategori sedang sebanyak 22
responden (52.4%), kadar gula darah penderita dalam kriteria tinggi lebih dari
200 mg/dl sebanyak 42 responden (100%) dan ada hubungan yang signifikan antara pengetahuan tentang
penyakit dan komplikasi pada penderita diabetes melitus dengan tindakan
mengontrol kadar gula darah ( nilai r = 0,508 dan nilai P < 0,05).(Dikutip oleh Nurh Hidayah dan Khoirun Nisa) Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Achmad Yoga Setyo Utomo bahwa hasil analisis
didapatkan odds rasio (OR) sebesar 4,03 dengan 95% confidence
interval (CI) :1,37<4<11,84 dan nilai P = 0,01 (<0,05). Hal ini
menunjukkan bahwa orang yang mempunyai kepatuhan minum obat mempunyai risiko 4
kali untuk berhasil dalam pengelolaan DM tipe 2 dibandingkan dengan yang tidak
patuh dan secara statistik bermakna.(Dikutip oleh M sodik dan Ismail Razak) Hal ini
juga sejalan dengan penelitian Mega Noviasari dan TA
Larasati yang
menyatakan hubungan sikap dengan nilai kualitas hidup responden menunjukkan
pola positif, artinya semakin besar nilai sikap semakin besar pula nilai
kualitas hidup responden. Hubungan tersebut sedang (0.491). Besaran koefisien
determinasi umur adalah 0.24 berarti lama sikap menjelaskan 24 % nilai kualitas
hidup. Hasil uji statistika lebih lanjut disimpulkan ada hubungan yang bermakna
antara sikap dengan nilai kualitas hidup responden (p value = 0.00).(Dikutip oleh Ayu indah dan Prassilvya Hillary Sirait)
Berdasarkan hasil wawancara,
responden yang memiliki sikap yang baik terhadap pengobatan cenderung memiliki
praktik yang baik juga terhadap pengobatan, hanya ada satu ketentuan yang
disetujui seluruh responden tetapi hanya dilakukan oleh 47,2% responden, yaitu
memperhatikan aturan minum obat (dosis, frekuensi, sebelum atau sesudah makan).
Sesuai teori Notoatmodjo(10)
bahwa suatu penyakit dapat dicegah dengan perilaku kesehatan yang didukung
dengan pengetahuan dan sikap yang baik terhadap penyakit tersebut. Pengetahuan
dan sikap ini dapat membentuk keyakinan tertentu sehingga seseorang berperilaku
sesuai keyakinan tersebut.
Turner et al mengemukakan bahwa
kontribusi diet, sulphonylurea, metformin dan insulin terhadap kontrol gula
darah adalah sebesar 8%, 24%, 18% dan 42%. Hal ini menunjukkan bahwa terapi
pengobatan memberikan kontribusi yang lebih besar dalam keberhasilan
pengelolaan DM tipe 2. Menurut Nurina Dewi Pratita, 2012, Penelitian
empiris menunjukkan bahwa health locus of control memainkan peran penting dalam menentukan perilaku
kesehatan masyarakat (Bonichini dkk, 2009). Individu dengan health locus of
control memengaruhi perilaku mereka sendiri yang berhubungan dengan kesehatan, termasuk perilaku kesehatan yang
beresiko, dan kepatuhan terhadap anjuran perawatan kesehatan (Bonichini dkk, 2009). Health
locus of control juga didefinisikan sebagai harapan umum
tentang kesehatan seseorang dikendalikan oleh perilakunya sendiri atau dari luar
dirinya (Morowatisharifabad, Mahmoodabad, Baghianimoghadam 2009). Menurut Rodin (dalam Morowatisharifabad dkk, 2009), seseorang
yang memiliki kontrol yang tinggi mungkin memiliki kesehatan yang lebih baik, karena dia lebih mengambil tindakan untuk meningkatkan kesehatan. Health
locus of control didefinisikan sebagai seperangkat keyakinan seseorang tentang
pribadinya yang memiliki pengaruh pada kesehatan (Bonichini dkk, 2009). (Dikutip oleh Nur Hidayah dan Khoirun Nisa) HLOC memiliki hubungan yang sangat signifikan dengan kepatuhan. Hal ini didukung oleh hasil tabulasi silang
antara HLOC dengan kepatuhan dalam menjalani proses pengobatan (tabel 28) menunjukkan
bahwa seluruh (100%) subjek penelitian yang memiliki HLOC tinggi memiliki
kepatuhan yang sedang. Sedangkan sebagian besar (86.4%) subjek penelitian yang
HLOC sedang memiliki kepatuhan yang sedang. Hasil tabulasi silang antara
kepatuhan dalam menjalani proses pengobatan dengan inisiatif dalam menjalani proses
pengobatan (tabel 32) menunjukkan bahwa subjek penelitian yang memiliki
kepatuhan yang sedang sebagian besar (40.0%) memiliki inisiatif sendiri untuk
menjalani proses pengobatan. (dikutip oleh Ayu Indah & Prassylvia, 2013) Menurut Rosana Bellawati
Sugiarto, Suprihatin, 2012, menggambarkan tidak ada hubungan kepatuhan kontrol dengan
tingkat kadar gula darah di Klinik Penyakit Dalam Rumah Sakit Baptis Kediri.
Setelah dilakukan uji statistik “Spearman’s Rho” yang didasarkan taraf
kemaknaan yang ditetapkan 0,05 didapatkan p = 0,489 maka Ha ditolak Ho diterima
berarti tidak ada hubungan kepatuhan kontrol dengan tingkat kadar gula darah di
Klinik Penyakit Dalam Rumah Sakit Baptis Kediri. (Dikutip oleh Ismail Razak dan M.Sodik)
Praktik Pengobatan
Tabel 9 Hubungan Praktik Pengobatan dengan Kadar
Gula Darah
Praktik
pengobatan
|
Kadar
Gula Darah
|
total
|
|
tidak
normal
|
normal
|
||
kurang n
%
|
30
93,8
|
2
6,3
|
32
100
|
baik n
%
|
25
62,5
|
15
37,5
|
40
100
|
total n
%
|
55
76,4
|
17
23,6
|
72
100
|
p-value =
0,002; OR=9 (1,8-43,1)
Hasil analisis menunjukkan bahwa
praktik pengobatan yang kurang baik merupakan faktor risiko kadar gula darah
puasa tidak normal (p=0,002; OR=9; 95% CI=1,8-43,1). Sesuai dengan penelitian
Laurentia M(24) di perkotaan Indonesia, bahwa ada hubungan yang bermakna antara
perilaku minum atau injeksi obat anti diabetes dengan pengendalian gula darah
(p=0,004).
Dalam penelitian ini, obat yang
diminum oleh penderita DM termasuk dalam Obat Hipoglikemik Oral (OHO). OHO
adalah obat yang berfungsi untuk menurunkan kadar gula darah dengan mekanisme
kerja sesuai golongannya, ada yang bekerja meningkatkan sensitivitas insulin,
merangsang sekresi insulin dan menghambat penyerapan glukosa oleh darah.(25) Hal ini sesuai dengan jurnal yang ditulis oleh Nina Rahmadiliyani dan
Abi Muhlisin, yang meneliti tentang distribusi frekuensi penderita berdasarkan
tindakan mengontrol kadar gula darah dengan hasil baik sebanyak 3 orang dan
buruk sebanyak 39 orang dari 42.(Dikutip oleh Arrohman Nur dan bagus Wicaksono)
Dan didukung dengan penelitian yang pernah dilakukan
oleh Sri Anani dkk, bahwa perilaku keteraturan minum obat anti diabetes
berhubungan dengan kadar glukosa darah dengan teratur sebanyak 21 orang dan
tidak teratur sebnyak 4 orang dari 25 (P=0,032).(Dikutip oleh Ismail Razak dan
M.Sodik) Namun pada penelitian Sri anani mengenai hubungan
antara kadar gula darah dengan pemeriksaan glukosa darah tidak ada hubungan
antara keduanya, hasil yang didapat yaitu 73,70 % melakukan pemerikasaan tidak
teratur sedangkan 65,50 % pemeriksaan teratur dengan p=0,509.(Dikutip oleh
Khoirun Nisa dan Ayu Indah Wiryani)
Kepatuhan pengobatan adalah
seberapa jauh perilaku pasien dalam menggunakan obat sesuai dengan nasehat
medis. Pasien harus mengikuti perintah dokter dan mematuhi petunjuk dokter. Hal
ini mengimplikasikan bahwa pasien tidak diberi kesempatan membuat keputusan
penggunaan obat. Konsep kepatuhan menyatakan gagasan bahwa mengikuti nasehat
yang direkomendasikan selalu merupakan tindakan yang tepat dan hal yang terbaik
untuk pasien. Pasien yang melaksanakan pengobatan sesuai anjuran dokter,
keberhasilan pengendalian gula darah akan lebih tinggi.(26)
Seperti hasil penelitian Turner
et al yang menemukan bahwa kontribusi diet, sulphonylurea, metformin dan
insulin terhadap kontrol gula darah adalah sebesar 8%, 24%, 18% dan 42%. Hal
ini menunjukkan bahwa terapi pengobatan memberikan kontribusi yang lebih besar
dalam keberhasilan pengelolaan DM.
Dari hasil wawancara, masih
banyak responden yang belum minum obat secara rutin, yaitu 52,8% tidak
memperhatikan aturan minum obat seperti dosis, frekuensi, sebelum atau sesudah
makan dan 48,6% tidak minum obat saat kondisi membaik misalnya saat gula darah
turun atau badan terasa sehat.
Responden tidak minum obat secara
rutin karena sering lupa, malas, bosan dan karena jadwal makan yang tidak pasti
atau kadang tidak makan sehingga juga tidak minum obat. Responden yang gula
darahnya sudah normal dan badan terasa sehat sengaja mengurangi obat, misalnya
yang seharusnya tiga kali sehari menjadi dua atau satu kali sehari atau bahkan
tidak minum obat sama sekali. Kemudian obat akan diminum lagi saat kondisi
memburuk misalnya gula darah naik atau badan terasa tidak sehat. Responden
beralasan bahwa mereka takut efek samping obat. Sehingga responden
menyeimbangkannya dengan minum obat tradisonal atau jamu, seperti air rebusan
daun sirih merah, daun insulin, daun sirsak, daun salam, akar asem, dan
sebagainya. Responden beranggapan bahwa jamu yang memiliki rasa pahit dapat
menetralkan gula darah, walaupun kebenaran secara ilmiah masih meragukan.
Hal itu berarti bahwa responden
mengubah aturan minum obat sendiri, tidak seperti anjuran dokter. Padahal
setiap obat memiliki fungsi dan waktu bekerja yang berbeda sehingga
penggunaannya juga harus tepat sesuai aturan agar obat bekerja secara efektif.
Sehingga bagaimanapun, penderita DM harus minum obat sesuai anjuran dokter.
Pengobatan diabetes memerlukan
waktu yang lama (karena diabetes akan diderita seumur hidup) dan sangat
kompleks (membutuhkan pengobatan dan perubahan gaya hidup) sehingga seringkali
pasien tidak patuh dan cenderung menjadi putus asa dengan program terapi yang
lama, kompleks dan tidak menghasilkan kesembuhan. Menurut Asti(27) umumnya
penderita diabetes patuh berobat kepada dokter selama ia masih menderita gejala
yang subjektif dan mengganggu hidup rutinnya sehari-hari, begitu ia bebas dari
keluhan-keluhan tersebut maka kepatuhannya untuk berobat berkurang.
SIMPULAN
Dari penelitian ini dapat
disimpulkan bahwa sebagian besar pasien DM tipe 2 yang menjalani rawat jalan di
Poliklinik Penyakit Dalam RSUD Kabupaten Karanganyar sudah memiliki pengetahuan
dan sikap yang baik terhadap pengelolaan DM yang meliputi diet, olahraga dan
pengobatan. Akan tetapi dalam praktiknya masih banyak yang tidak melaksanakan
pengelolaan DM dengan benar sehingga kadar gula darah sebagian besar pasien
berada pada kategori tidak normal.
Hal tersebut menggambarkan bahwa
pengetahuan dan sikap yang baik belum cukup untuk dapat merubah perilaku pasien
DM, sehingga diperlukan intervensi lain seperti pemberian motivasi dengan
membentuk tim motivator yang rutin memberikan motivasi kepada pasien. Motivasi
juga dapat diberikan dengan cara memberikan penghargaan kepada pasien yang
berhasil mengelola DM dengan baik. Dengan motivasi tersebut diharapkan pasien
merasa terdorong dan memiliki semangat untuk selalu melaksanakan pengelolaan
DM.
Saran
Bagi penderita DM pengelolaan DM meliputi
empat pilar utama yaitu edukasi, perencanaan makan, latihan jasmani dan adanya
intervensi farmakologis, dimana keempat pilar tersebut haruslah diterapkan secara
kontinyu dan menyeluruh. Serta perlunya motivasi diri yang kuat dan sikap
optimistis dari penderita mengenai keberhasilan pengobatan DM. (dibuat oleh Bagus
Wicaksono dan Khoirun Nisa)
Petugas kesehatan
sebagai ujung tombak pelayanan kesehatan masyarakat perlu mengadakan penyuluhan
lebih lanjut mengenai pengaturan makan meliputi jumlah energi, jenis makanan,
dan jadwal makan. Penyuluhan dengan menggunakan pamflet dan contoh menu akan
dapat lebih memudahkan pasien untuk mengatur makan. Bagi Institusi (Rsud
Kabupaten Karanganyar) diharapkan dapat
meningkatkan
usaha untuk melakukan edukasi yang lebih komprehensif kepada penderita DM
terkait upaya pengendalian DM tersebut sehingga dapat
meningkatkan
kontrol glukosa darah yang baik. (dibuat
oleh Nur Hidayah dan M. Sodik)
Bagi Institusi ( Poli Penyakit Dalam RSDK )
perlunya peningkatan usaha untuk melakukan edukasi yang secara cermat dan lebih
teliti kepada penderita DM mengenai pentingnya empat pilar tersebut dalam keberhasilan
pengelolaan penderita DM. Perlunya meningkatkan penjelasan yang lebih detail
dan secara lebih sederhana kepada penderita DM mengenai keempat pilar tersebut sehingga
penderita DM lebih mengerti dan mudah untuk mengaplikasikannya. (dibuat oleh
Prassilvya Hillary Sirait dan Ayu Indah Wuryani)
Dari hasil penelitian
ini diharapkan bahwa para penderita diabetes dapat memotivasi diri untuk
senantiasa menerapkan secara kontinyu dan menyeluruh tentang pengendalian DM
agar pengobatan dapat berjalan dengan baik. (dibuat oleh Arrohman Nur dan Ismail Razak)
Dari hasil penelitian
ini diharapkan menjadi bahan rujukan untuk dilakukan penelitian selanjutnya
untuk memperdalam penelitian mengenai faktor-faktor pendukung dalam
keberhasilan pengendalian DM.(dibuat oleh M. Sodik dan Nur Hidayah)
REFERENSI
1.
ADA. Diabetes
Basics. (Online) (http://www.diabetes.org/diabetes-basics/, diakses 13
maret 2012).
2.
Soegondo
S. Penatalaksaan Diabetes Mellitus Terpadu. Jakarta: Balai Penerbit FK
UI, 2005.
3.
IDF. One adult in ten will have diabetes by
2030. 5th edition Diabetes Atlas, 2011.
4.
Rahman S,
Rahman T, Ismail A, Rashid. Diabetes-associated macrovasculopathy:
pathophysiology and pathogenesis, Diabetes Obes Metab. 2007; 9(6):
767–80.
5.
Gholamreza
V. Association Between Socio-Demographic Factors and Diabetes Mellitus in The
North Of Iran: A Population-Based Study. International Journal of Diabetes
Mellitus 2. 2010; 154–157.
6.
Notoatmodjo
S. Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku. Rineka Cipta, Jakarta: Rineka
Cipta; 2007.
7.
Dinkes
Kabupaten Karanganyar. Laporan Tahunan Kasus Penyakit Tidak Menular Dinas
Kesehatan Kab. Karanganyar. Karanganyar: Dinkes; 2012.
8.
Sudrisman.
Hubungan Pengetahuan Diet dengan Kadar Gula Darah Pasien Diabetes Melitus di
Poliklinik Penyakit Dalam Rumah Sakit Roemani Muhammadiyah Semarang. Undergraduate
thesis, Universitas Diponegoro, 2008.
9.
Price,
Wilson. Patofisiologi, Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jakarta:
EGC, 1995.
10. Notoatmodjo S dkk. Pengantar Perilaku, Ilmu
Perilaku Kesehatan. Jakarta: FKM UI, 1985.
11. WHO. Adherence to Long-Term Therapies. Evidence
for Action. 2003.
12. Notoatmodjo S. lmu Kesehatan Masyarakat
Ilmu dan Seni. Jakarta: Rineka Cipta; 2008.
13. Basuki E. Konseling Medik : Kunci Menuju
Kepatuhan Pasien. Majalah Kedokteran Indonesia; 2009; 59(2).
14. Achmad Y. Hubungan Antara 4 Pilar
Pengelolaan DM dengan Keberhasilan Pengelolaan DM Tipe 2. Artikel Ilmiah.
Semarang: Universitas Diponegoro, 2011.
15. Yunir EM. Terapi Non Farmakologis pada
Diabetes Melitus. Dalam : Aru W, dkk, editors, Ilmu Penyakit Dalam, Jilid
III, Edisi keempat. Jakarta: Penerbit FKUI; 2006.
16. PERKENI. Konsensus Pengendalian dan Pencegahan
Diabetes Mellitus Tipe2 di Indonesia 2011. Jakarta: PERKENI; 2011.
17. Robert E. Dietary Fiber for the Treatment of
Type 2 Diabetes Mellitus: A Meta-Analysis. J Am Board Fam Med. 2012; 25:
16 –23.
18. Heacock P. Fructose Prefeeding Reduces the
Glycemic Response to a High-Glycemic Index, Starchy Food in Humans. JN The
Journal of Nutrition. 2002.
19. Jazilah, Paulus Wijono. Hubungan Tingkat
Pengetahuan, Sikap dan Praktek (PSP) Penderita Diabetes Mellitus Mengenai
Pengelolaan Diabetes Mellitus dengan Kendali Kadar Glukosa Darah. Sains
Kesehatan. 2003; 16(3).
20. Riyadi, Sujono, Sukarmin. Asuhan
Keperawatan pada Pasien dengan Gangguan Eksokrin dan Endokrin pada Pankreas. Yogyakart:
Graha Ilmu; 2008; 148 hal, 1 jil.
21. Puji I., Heru S., Agus S. Pengaruh Latihan
Fisik: Senam Aerobik Terhadap Penurunan Kadar Gula Darah Pada Penderita DM Tipe
2 di Wilayah Puskesmas Bukateja Purbalingga. Media Ners. 2007; 1(2):
49-99.
22. Slamet S. Diabetes Melitus di Indonesia.
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam,
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006.
23. Stanley. Buku Ajar Keperawatan Gerontik.
Jakarta: EGC; 2006.
24. Laurentia M. Faktor yang Berhubungan dengan
Pengendalian Gula Darah pada Penderita Diabetes Mellitus di Perkotaan
Indonesia. Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Kesehatan Republik
Indonesia, Jakarta. Maj Kedokt Indonesia. 2009; 59(9).
25. Soegondo S. Farmakoterapi pada pengendalian
Glikemia Diabetes Melitus tipe 2. Dalam : Aru W, dkk, editors, Ilmu
Penyakit Dalam, Jilid III, Edisi keempat. Jakarta: Penerbit FK UI; 2006.
26. Rantucci, Melanie J. Membantu Pasien untuk
Memiliki Ketaatan dan Membuat Keputusan. In : Manurung, July, ed. Komunikasi
Apoteker-Pasien Panduan Konseling Pasien ed. Jakarta: EGC; 2009; 49-81.
27. Asti T. Kepatuhan Pasien : Faktor Penting
dalam Keberhasilan Terapi. Majalah Info POM. 2006; 7(5): 1-3.
DAFTAR PUSTAKA
A.K. Prima Dewi. 2010. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Praktek Pengukuran Makanan
(Diet) Sehari-Hari Pada Pasien Dm Tipe 2. Diakses pada tanggal 25
Februari 2013.
Achmad Yoga Seyio Utumo. 2011. Hubungan Antara 4 Pilar Pengelolaan Diabetes
Melitus Dengan Keberhasilan Pengelolaan Diabetes Melitus Tipe 2. Diakses
Pada 25 Februari 2013.
Banu Hanifah Al Tera. 2011. Determinan Ketidakpatuhan Diet Penderita Diabetes Melitus Tipe 2.
Diakses pada 25 Februari 2013.
Dewi marfu’ah Kurniawati. 2011. Perbedaan Perubahan Berat Badan, Aktivitas Fisik, Dan Kontrol Darah
Antara Anggota Organisasi Penyandang Diabetes Militus Dan Non Anggota.
Diakses pada 25 Februari 2013.
Eva Mona, dkk. 2012. Hubungan
Frekuensi Pemberian Konsultasi Gizi Dengan Kepatuhan DiitSerta Kadar Gula Darah
Penderita Diabetes Mellitus Tipe II Rawat Jalan Di RS Tugurejo Semarang.
Diakses pada 25 Februari 2013.
Kusniyah. Y, dkk. 2010. Hubungan Tingkat Self Care
dengan Tingkat HBA1C pada Klien Diabetes Melitus Tipe 2 di Poliklinik Endokrin
Rsup Dr. Hasan Sadikin Bandung. Diakses pada 25 Februari 2013.
Lewi Martha Furi, dkk. 2013. Hubungan
Pengetahuan Dan Sikap Mengenai Diet Diabetes Melitus Dengan Tingkat Konsumsi
Energi Pada Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 Di Poli Penyakit Rsud Dr. H. Abdul
Moeloek Provinsi Lampung Bandar Lampung. Diakses pada tanggal 25 Februari
2013.
Mega Noviasari, dkk. 2013. Hubungan
Jenis Pengobatan Dan Sikap Dengan Kualitas Hidup Pasien Diabetes Melitus Tipe 2
Di Rsud Dr. H. Abdul Moeloek Provinsi Lampung. Diakses pada tanggal 25
Februari 2013.
N. Juni Triastuti, dkk. 2009. Peningkatan
Pengetahuan Tentang Diabetes Mellitus Pada Penduduk Desa Bulan Wonosari Klaten.
Diakses pada 25 Februari 2013.
Nina Rahmadiliyani Dan Abi Muhlisin, dkk. 2008. Hubungan
Antara Pengetahuan Tentang Penyakit Dan Komplikasi Pada Penderita Diabetes
Melitus Dengan Tindakan Mengontrol Kadar Gula Darah Di Wilayah Kerja Puskesmas
I Gatak Sukoharjo. Diakses Pada 25 Februari 2013.
Nur Aini. 2011. Upaya
Meningkatkan Perilaku Pasien Dalam Tatalaksana Diabetes Mellitus Dengan
Pendekatan Teori Model Behavioral System Dorothy E. Johnson. Diakses pada
25 Februari 2013.
Prayugo Juwi Susilo Putro Dan Suprihatin. 2012. Pola Diit Tepat Jumlah, Jadwal, Dan Jenis Terhadap
Kadar Gula Darah Pasien Diabetes Mellitus Tipe Ii. Diakses Pada 25 Februari 2013.
Radio Putro Wicaksono. 2011. Faktor-Faktor
Yang Berhubungan Dengan Kejadian Diabetes Melitus Tipe 2. Diakses pada
tanggal 25 Februari 2013.
Rahmadiliyani, dkk. 2008. Hubungan
Antara Pengetahuan Tentang Penyakit Dan Komplikasi Pada Penderita Diabetes
Melitus Dengan Tindakan Mengontrol Kadar Gula Darah Di Wilayah Kerja Puskesmas
I Gatak Sukoharjo. Diakses Pada 25 Februari 2013.
Rosana Bellawati Sugiarto. 2012. Kepatuhan Kontrol Dengan Tingkat Kadar Gula Darah Pasien Diabetes
Mellitus Di Rumah Sakit Baptis Kediri. Diakses Pada 25 Februari 2013.
Sri Anani, dkk. 2012. Hubungan
Antara Perilaku Pengendalian Diabetes Dan Kadar Glukosa Darah Pasien Rawat
Jalan Diabetes Melitus (Studi Kasus Di RSUD Arjawinangun Kabupaten Cirebon).
Diakses Pada Tanggal 25 Februari 2013.
Ucik Witasari Prihatin. 2008. Hubungan Tingkat Pengetahuan, Asupan Karbohidrat Dan
Serat Dengan Pengendalian Kadar Glukosa Darah Pada Penderita Diabetes Melitus
Tipe Ii Rawat Jalan Di Rsud Dr. Moewardi Surakarta. Diakses Pada 25
Februari 2013.
Yulianta Kusniyah, dkk. 2010. Hubungan
Tingkat Self Care Dengan Tingkat Hba1c Klien Diabetes Mellitus Tipe 2 Di
Poliklinik Endokrin RSUP DR. Hasan Sadikin Bandung. Diakses Pada 25
Februari 2013.
Zahtamal, dkk. 2008. Faktor-Faktor
Risiko Pasien Diabetes Melitus. Diakses Pada 25 Februari 2013.
si emba.. gw udah matiin blog gw.. eh, dianya bikin -__-
BalasHapus